Memuat opini, berita, komentar, kata mutiara dalam kehidupan, termasuk beberapa cerpen saya yang terbit di media cetak.

Senin, 16 Mei 2011

Aku Si Kakek Lampir.


Akan kupanggil arwah istriku yang suka tertawa panjang dengan nada tinggi : “hiik…hiik…hiik…, lalu akan kami himpun tuyul-tuyul dan semua babi ngepet, sehingga kami mampu membangun Universitas Poli-tikus, yang hanya mempunyai 1 disiplin ilmu: Otoriter.

Lalu mahasiwa-mahasiwa di universitasku itu akan kuajak mengunjungi semua pohon beringin besar dan rindang di seluruh pelosok negeriku. Di bawah setiap pohon itulah istriku tercinta, si Nenek Lampir, mengajarkan ilmunya.

Hanya dalam waktu seminggu, semua pohon telah kami kunjungi. Minggu berikutnya, semua mahasiwaku wajib melakukan “tapa-siluman tirani dan otoriter” di Universitas Poli-tikusku.

Pada minggu ke-3 mereka diwisuda. Tentu saja mereka kuanugerahi gelar DD (Doktor Demit) di depan nama mereka. Pada minggu ke-4, dua orang di antaranya telah menjadi RL-1 (Republik Lampir-1) dan RL-2 (Republik Lampir-2) yang sangat, suaaangat otoriter! Lalu dengan bantuan semua dedemit pohon beringin besar dan rimbun, kedua Doktor Demit tadi akan melaksanakan titahku: “Buat gedung Wakil Rakyat negeriku menjadi mal terbesar di Asia!!”

Selasa, 10 Mei 2011

DPR, Arogansi Jabatan.

http://politik.kompasiana.com/2011/05/10/dpr-arogansi-jabatan/


Oleh TIMBUL NADEAK.
Semakin sering anggota Dewan melakukan studi banding –meskipun namanya sudah dirubah menjadi kunjungan kerja-  semakin keras dan berani masyarakat mengkritisi kegiatan itu. Semakin arogan alasan-alasan yang dikemukakan anggota Dewan untuk “membela” kegiatan itu, semakin mencibir pula mulut masyarakat menanggapinya. Selain itu, semakin deras penolakan masyarakat atas pembangunan gedung baru DPR, semakin tebal pula tembok yang digunakan anggota Dewan untuk membendungnya. Inilah fenomena yang terjadi beberapa bulan terakhir ini: Disharmoni antara rakyat yang merasa tak terwakili dengan anggota Dewan yang merasa mewakili.

Studi Banding.
Di berbagai media cetak dan elektronik, berkali-kali diberitakan agar hasil studi banding dievaluasi dan dipublikasikan ke masyarakat. Ini keinginan yang sangat realistis. Bila DPR tak ingin dituding menghambur-hamburkan uang negara, tentu rakyat ingin tahu apa manfaat studi banding itu. Tapi, apa yang akan dipublikasikan DPR kepada rakyat Indonesia bila kenyataannya memang DPR pelesiran di balik istilah studi banding? Apa yang akan dipublikasikan Komisi VIII bila studi banding ke Australia dilakukan dengan membawa anggota keluarga, dan dilakukan ketika rekan-rekannya di parlemen Australia sedang reses? Bagaimana mungkin Komisi X dan Komisi VIII bisa menggunakan bahasa etika untuk membela diri bila kepergok berfoto ria di stadion Real Madrid, Spayol, dan New Parliament House dan Old Parliament House Australia?
Sebagai wakil-wakil rakyat tak seharusnya anggota Dewan membela diri dengan arogan jika rakyat sebagai konsituen mencibir perilaku Dewan. Suara rakyat sempat terwakili oleh Djoko Susilo, duta besar Indonesia untuk Swiss, yang menyatakan bahwa 90 persen kunjungan kerja DPR ke luar negeri tidak bermanfaat dan anggota yang melakukan kunjungan lebih banyak menggunakan waktunya untuk pelesiran. Tapi Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso menanggapinya dengan ancaman: “Akan meninjau anggaran kedutaan-kedutaan.” Inilah salah satu jawaban yang menunjukkan arogansi jabatan. Seolah DPR sudah menjadi lembaga super berkuasa yang anti-kritik sekaligus lembaga yang berhak untuk membohongi rakyat yang diwakilinya.
Wakil-wakil rakyat di DPR sudah lupa bahwa mereka ada karena rakyat memilihnya. Seandainya Priyo menjawabnya dengan santun, misalnya: “Terima kasih atas kritikannya. Kritikan itu memicu kami untuk mengevaluasi kembali semua kegiatan kunjungan kerja yang telah kami agendakan.” Tentu jawaban ini lebih menyejukkan dibandingkan pembelaan arogan. Priyo mungkin tak sadar bahwa pernyataannya belum tentu dilupakan oleh rakyat Indonesia hingga 2014 nanti. Bahwa di belakangnya, mungkin saja rakyat menanggapi: “Gaya demokrasi rezim orba memang sudah mendarah daging dalam diri mereka. Mereka mulai mengancam untuk membungkam mulut rakyat.”
Mendengar dan menghargai aspirasi rakyat, itulah yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang secara formal menjadi wakil-wakil rakyat. Jika memang melakukan kesalahan dan dinilai hanya menghambur-hamburkan uang, mengapa tak mau mengkoreksi diri? Jika memang lupa dan tak tahu/ingat alamat email, mengapa harus ngotot berbohong: “komisi8@yahoo.com?” Hubungan disharmoni hanya mungkin mencair jika DPR mau membenahi dirinya sendiri. DPR yang harus berubah agar tak diolok-olok oleh konsituen yang diwakilinya. Rakyat tak mungkin berubah meskipun dibungkam karena rakyat adalah pihak yang disakiti.

Setelah Gedung Baru, Apa?
Salah satu alasan yang selalu dikemukakan anggota Dewan adalah perlunya penambahan ruang untuk staf ahli agar kinerja Dewan dapat ditingkatkan. Terlepas dari polemik biaya pembangunan gedung baru sebesar 1.138 triliun, berapa besar pula biaya ekstra untuk membayar gaji/honor bila jumlah staf ahli ditambah?
Saat ini setiap anggota Dewan rata-rata memiliki 1 staf ahli. Setelah gedung baru tersebut selesai dibangun –dengan menyitir salah satu alasan untuk membangunnya- maka setiap anggota Dewan berhak ngotot untuk menambah staf ahlinya menjadi 5 orang. Berarti ada penambahan 4 staf ahli. Dan bila seorang staf ahli diasumsikan “bersedia” dibayar dengan gaji/honor Rp 15 juta/bulan, berarti harus pula dialokasikan dana sebesar 33.6 miliar/bulan. Angka ini bisa sangat mengejutkan, bisa juga menjadi biasa-biasa saja. Kesimpulannya ditentukan oleh sikap anggota Dewan itu sendiri.
Alangkah merdunya terdengar di telinga bila seluruh Fraksi yang ada di DPR berani berteriak lantang: “Kami tidak akan menambah staf ahli. Sebaliknya kami akan menyarankan dan mengawasi pemerintah agar alokasi dana untuk gaji/honor staf ahli dialihkan untuk merenovasi seluruh SD yang rusak!”
Hingga tahun 2011 ini saja ada 187.855 (21%) dari total 895.761 ruang SD yang rusak atau ambruk. Padahal ruang-ruang SD itu ditargetkan selesai tahun 2008 di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Bila biaya renovasi 1 ruang SD diasumsikan membutuhkan biaya Rp 76 juta, berarti setiap bulan dapat direnovasi sebanyak 442 ruang SD dari alokasi gaji/honor staf ahli anggota Dewan. Atau setahun berhasil dengan merenovasi 5.304 ruang SD yang rusak.
Saya tidak bermaksud menjelaskan bahwa diperlukan 35 tahun untuk merenovasi seluruh ruang SD di Indonesia dari alokasi gaji/honor staf ahli. Tidak. Saya hanya ingin mengajak seluruh anggota Dewan untuk merenungkan betapa besar manfaat uang sebesar 33.6 miliar/bulan bagi tunas-tunas bangsa sehingga mereka bisa menikmati ruang kelas yang layak. Coba kita renungkan bahwa dari alokasi gaji/honor staf ahli kita sesungguhnya bisa merenovasi 442 ruang kelas SD setiap bulan, dan di DKI Jakarta tahun 2011 ini tercatat “hanya” ada 346 ruang kelas SD yang rusak.
Bila anggota Dewan mau bertenggang rasa. Bila anggota Dewan mau berkata: “Kami memang membutuhkan gedung baru tetapi cukup seharga Rp 500 miliar. Kami memang membutuhkan tambahan ruang untuk kami. Bukan ruang untuk staf ahli. Kami memang memerlukan staf ahli 5 sampai 6 orang untuk setiap fraksi. Bukan untuk setiap anggota Dewan.” Penjelasan seperti ini tentu lebih “menyejukkan” di telinga rakyat daripada ngotot membangun gedung baru untuk menampung 5 orang staf ahli per anggota Dewan. Bukankah selama ini suara di DPR adalah suara per fraksi. Jadi mengapa harus ngotot?

Perbaikan Kinerja Dewan.
Di tengah semaraknya kritikan dan cibiran masyarakat, masih bisakah diharapkan perbaikan kinerja anggota Dewan masa bakti 2009-2014 ini?
Disadari atau tidak, mulai terbentuk persepsi simbiosis mutualistis dengan konotasi konspirasi antara Negara (Eksekutif) dan DPR (Legislatif). Eksekutif menjadi kasir bagi Legislatif dan Legislatif menjadi stempel bagi Eksekutif.
Dimulainya dari anggaran studi banding 2011 yang mencapai Rp 100 miliar, diikuti oleh biaya pembangunan gedung baru DPR Rp 1 triliun lebih, maka terciptalah persepsi: Eksekutif sebagai kasir terkesan “takut” mengemukakan opini terhadap polemik yang terjadi. Eksekutif sengaja membisu agar segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah mudah mendapatkan restu/stempel dari Legislatif sebagai kompensasi kebisuannya. Penulis mencatat, opini hanya pernah dikemukakan oleh Presiden SBY. Dan opini itu dikemukakan hanya sehari sebelum sidang paripurna DPR yang akhirnya memutuskan bahwa gedung baru DPR tetap dilaksanakan. Tak jelas pula apakah opini presiden itu dikemukakan dengan kapasitas sebagai Kepala Negara atau sebagai Ketua Dewan Pembina partai.
Perbaikan kinerja anggota Dewan tentu akan diapresiasi oleh masyarakat bila dimulai dari perbaikan etika anggota Dewan itu sendiri. Meskipun anggota Dewan telah menyentuh esensi masalah yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat, selama etika dan moral anggota Dewan di ruang sidang masih berputar-putar di sekitar baca koran, mengantuk, tidur, ber-BBM-ria, tablet-PC, apalagi nonton film porno, maka apa pun bentuk perbaikan kinerja akan sulit mendapat apresiasi dari masyarakat.
Anggota Dewan berpeluang mendapatkan kembali simpati masyarakat bila telah menyentuh esensi masalah yang memang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari, antara lain: Pendidikan, Pangan, dan Perumahan Rakyat.