http://politik.kompasiana.com/2010/10/07/timur-pradopo-kapolri-kontroversial/
Meski 2 hari telah berlalu sejak presiden SBY secara resmi mengajukan nama Komjen Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri, nama ini masih tetap seru diperbincangkan. Mengapa tidak? Pada siang hari namanya mulai santer disebut-sebut, sore harinya bintang ke-3 disematkan di bahunya, dan beberapa jam kemudian secara resmi namanya langsung merontokkan 2 nama calon yang dipilih oleh Kompolnas, yaitu Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo.
Teori Hak Prerogtif.
Pengajuan nama Timur Pradopo jelas mengundang kontroversi. Meskipun membungkam sambil (mungkin) mencoba menyelaraskan suara dengan pihak Istana Merdeka, tetapi publik dapat menyimpulkan bahwa Kompolnas pasrah untuk “dikangkangi” oleh hak prerogatif presiden. Suka atau tidak, Kompolnas harus rela pula menerima cibiran Jenderal berbintang 1, 2, atau 3. Meski hanya di dalam hati, siapa yang bisa mendengar bila ada Jenderal yang menggerutu: “Kompolnas dan Wanjakti bukan jembatan menuju bintang 4. Karir puncak Polri haltenya ada di bintang 3.”
Lalu siapa yang bisa membantah bahwa hak prerogatif seperti yang diterapkan pada Komjen Timur Pradopo tidak akan menjadi teori baru bagi bintang 1 agar ia bisa naik ke bintang 2. Demikian juga bintang 2 ke bintang 3. Mereka akan berusaha untuk mendapatkan “hak prerogatif” bintang-bintang di atasnya. Bukankah itu tidak menyalahi garis komando. Siapa pula yang bisa menjamin bahwa bintang 2 dan bintang 3 yang ada di Polri saat ini tidak akan menjadi masalah internal di luar masalah “rekening gendut dan Gayus?” Penulis yakin, sedikit-banyak pasti bermasalah. Dan ‘track record’ sang calon Kapolri yang akan menjawab keyakinan publik: apakah ia memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan masalah internalnya atau tidak.
Anda boleh berteriak: Jangan politisasi jabatan Kapolri. Polri adalah institusi orang-orang profesional. “Melindungi, Membuat Aman, Dan Menegakkan Keadilan” hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang prefesional dalam bidangnya. “Orang-orang yang dididik, dipantau kinerjanya, diapresiasi akuntabilitas dan kapabilitasnya selama bertugas di institusi itu,” munkin begitulah pendapat publik dan Kompolnas. Pendapat seperti itu sah-sah saja. Bila diteriakkan pun sah-sah saja. Tapi sekeras apa pun anda berteriak, kenyataannya anda harus rela “dikangkangi” karena pemilik hak prerogatif berhak pula mempertimbangkan kendala-kendala politis sebelum membuat keputusannya. Itulah kenyataannya. Tapi apakah kenyataan itu cukup untuk menciptakan kontroversi? Tentu tidak. Ada ‘track record’ berupa noktah yang cukup mengkhawatirkan. Dan namanya noktah, biasanya berwarna hitam.
Noktah Hitam.
Ada beberapa noktah yang melekat di tubuh calon Kapolri ini. Salah satu di antaranya adalah insiden penusukan pendeta HKBP di Ciketing, Bekasi. Musibah ini tentu masih lekat dalam ingatan, terutama ingatan umat Gereja HKBP. Sehari setelah penusukan itu, calon Kapolri Timur Pradopo yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Kapolda Jaya, langsung membuat pernyataan: “Ini kriminal murni!” Aneh memang. Bagaimana caranya seorang Kapolda bisa secepat itu membuat kesimpulan padahal pelakunya belum ada yang tertangkap? Dan publik pun mulai bertanya-tanya, ada apa di balik pernyataan itu? Kira-kira seminggu kemudian, publik memperoleh jawaban. Polri mengumumkan bahwa ada 10 orang terlibat, dan penganiayaan itu direncanakan!
Lalu ada ‘perang Blowfish’ antara 2 kelompok preman di depan Pengadilan Jakarta Selatan. Perang dengan senjata tajam dan senjata api itu menewaskan 3 orang dan 2 korban luka. Noktah lainnya pun pasti tak mudah dilupakan oleh jamaah Ahmadyah, bahwa api pernah berkobar di dalam mesjid mereka, dan 4 rumah telah hangus terbakar. Lalu ke manakah orang-orang yang merasa tertindas itu harus mencari perlindungan dan rasa aman?
Sebesar apa pun persentase kontroversialnya, Presiden SBY telah mengajukan nama Komjen Timur Pradopo ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri. Sebesar apa pun persentase gemerisiknya suara rakyat, konstitusi menentukan bahwa keputusan setuju atau tidak mayoritas ada di tangan koalisi. Itulah kenyataannya. Meski Kontras berteriak tentang Timur Pradopo si mantan Kapolres Jakarta Barat yang tak pernah mau hadir bersaksi di Komnas HAM terkait peristiwa Trisakti dan Semanggi, Kontras pun harus rela “dikangkangi” oleh hak prerogatif presiden. Anda memang berhak berteriak, tetapi tak berhak melanggar konstitusi.
Pamor Parpol.
Suka atau tidak, rakyat tinggal menunggu keputusan DPR. Penulis memprediksi, DPR akan setuju meski dengan beberapa catatan. Bukankah perang argumen diam-diam sudah berlangsung selama lebih dari 2 minggu. Meskipun perang itu di bawah bendera Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo, tetapi akhirnya damai akan datang ke depan mata. Tak mungkin politisi tak tahu kemana ia inginkan angin bertiup! Jadi, bila kontroversi masih tetap berlangsung di media cetak dan elektronik, jangan risau. Itu memang diperlukan untuk menjaga pamor partai. Anggap saja sebagai bagian dari make-up jangka panjang. Anggap saja Itu sebuah contoh berpolitik di Indonesia.
Salam, Bung Deak
timbul-nadeak.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar