Memuat opini, berita, komentar, kata mutiara dalam kehidupan, termasuk beberapa cerpen saya yang terbit di media cetak.

Kamis, 28 Oktober 2010

Kahlil Gibran: Sumpah

Seorang pelaut tua suatu kali berkata kepadaku: "Tigapuluh tahun yang lalu seorang pelaut muda kabur bersama anak gadisku. Dan aku menyumpahi mereka dalam hatiku, karena tidak ada sesuatu yang lebih aku cintai di dunia ini kecuali anak gadisku.
"Tidak lama setelah itu, si pelaut muda itu karam bersama kapalnya ke dasar lautan, dan bersamanya anak gadis yang sangat kucintai hilang dari diriku. Sekarang pandanglah aku si pembunuh dari seorang anak muda dan anak gadisnya sendiri. Sumpahku telah menghancurkan mereka. Dan sekarang dalam perjalanan menuju liang lahat aku memohon ampunan Tuhan."
Demikianlah cerita orang tua itu. Namun aku menangkap ada nada kesombongan dalam kata-katanya, dan nampak bahwa ia masih membanggakan kekuatan sumpahnya.

Jumat, 15 Oktober 2010

Biteka - Biteki

Cipika - Cipiki.
Biteka - Biteki  (Bisik telinga kanan - Bisik telinga kiri).

Foto: tribunnews.com.15/10/2010. Timur Pradopo setelah selesai menjalani fit & proper test di Komisi III DPR



Rabu, 06 Oktober 2010

Timur Pradopo, Kapolri Kontroversial.


http://politik.kompasiana.com/2010/10/07/timur-pradopo-kapolri-kontroversial/
Meski 2 hari telah berlalu sejak presiden SBY secara resmi mengajukan nama Komjen Timur Pradopo  sebagai calon tunggal Kapolri, nama ini masih tetap seru diperbincangkan. Mengapa tidak? Pada siang hari namanya mulai santer disebut-sebut, sore harinya bintang ke-3 disematkan di bahunya, dan beberapa jam kemudian secara resmi namanya langsung merontokkan 2 nama calon yang dipilih oleh Kompolnas, yaitu Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo.


Teori Hak Prerogtif.
Pengajuan nama Timur Pradopo jelas mengundang kontroversi. Meskipun membungkam sambil (mungkin) mencoba menyelaraskan suara dengan pihak Istana Merdeka, tetapi publik dapat menyimpulkan bahwa Kompolnas pasrah untuk “dikangkangi” oleh hak prerogatif presiden. Suka atau tidak, Kompolnas harus rela pula menerima cibiran Jenderal berbintang 1, 2, atau 3. Meski hanya di dalam hati, siapa yang bisa mendengar bila ada Jenderal yang menggerutu: “Kompolnas dan Wanjakti bukan jembatan menuju bintang 4. Karir puncak Polri haltenya ada di bintang 3.”

Lalu siapa yang bisa membantah bahwa hak prerogatif seperti yang diterapkan pada Komjen Timur Pradopo tidak akan menjadi teori baru bagi bintang 1 agar ia bisa naik ke bintang 2. Demikian juga bintang 2 ke bintang 3. Mereka akan berusaha untuk mendapatkan “hak prerogatif” bintang-bintang di atasnya. Bukankah itu tidak menyalahi garis komando. Siapa pula yang bisa menjamin bahwa bintang 2 dan bintang 3 yang ada di Polri saat ini tidak akan menjadi masalah internal di luar masalah “rekening gendut dan Gayus?” Penulis yakin, sedikit-banyak pasti bermasalah. Dan ‘track record’ sang calon Kapolri yang akan menjawab keyakinan publik: apakah ia memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan masalah internalnya atau tidak.

Anda boleh berteriak: Jangan politisasi jabatan Kapolri. Polri adalah institusi orang-orang profesional. “Melindungi, Membuat Aman, Dan Menegakkan Keadilan” hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang prefesional dalam bidangnya. “Orang-orang yang dididik, dipantau kinerjanya, diapresiasi akuntabilitas dan kapabilitasnya selama bertugas di institusi itu,” munkin begitulah pendapat publik dan Kompolnas. Pendapat seperti itu sah-sah saja. Bila diteriakkan pun sah-sah saja. Tapi sekeras apa pun anda berteriak, kenyataannya anda harus rela “dikangkangi” karena pemilik hak prerogatif berhak pula mempertimbangkan kendala-kendala politis sebelum membuat keputusannya. Itulah kenyataannya. Tapi apakah kenyataan itu cukup untuk menciptakan kontroversi? Tentu tidak. Ada ‘track record’ berupa noktah yang cukup mengkhawatirkan. Dan namanya noktah, biasanya berwarna hitam.

Noktah Hitam.
Ada beberapa noktah yang melekat di tubuh calon Kapolri ini. Salah satu di antaranya adalah insiden penusukan pendeta HKBP di Ciketing, Bekasi. Musibah ini tentu masih lekat dalam ingatan, terutama ingatan umat Gereja HKBP. Sehari setelah penusukan itu, calon Kapolri Timur Pradopo yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Kapolda Jaya, langsung membuat pernyataan: “Ini kriminal murni!” Aneh memang. Bagaimana caranya seorang Kapolda bisa secepat itu membuat kesimpulan padahal pelakunya belum ada yang tertangkap? Dan publik pun mulai bertanya-tanya, ada apa di balik pernyataan itu? Kira-kira seminggu kemudian, publik memperoleh jawaban. Polri mengumumkan bahwa ada 10 orang terlibat, dan penganiayaan itu direncanakan!

Lalu ada ‘perang Blowfish’ antara 2 kelompok preman di depan Pengadilan Jakarta Selatan. Perang dengan senjata tajam dan senjata api itu menewaskan 3 orang dan 2 korban luka. Noktah lainnya pun pasti tak mudah dilupakan oleh jamaah Ahmadyah, bahwa api pernah berkobar di dalam mesjid mereka, dan 4 rumah telah hangus terbakar. Lalu ke manakah orang-orang yang merasa tertindas itu harus mencari perlindungan dan rasa aman?

Sebesar apa pun persentase kontroversialnya, Presiden SBY telah mengajukan nama Komjen Timur Pradopo ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri. Sebesar apa pun persentase gemerisiknya suara rakyat, konstitusi menentukan bahwa keputusan setuju atau tidak mayoritas ada di tangan koalisi. Itulah kenyataannya. Meski Kontras berteriak tentang Timur Pradopo si mantan Kapolres Jakarta Barat yang tak pernah mau hadir bersaksi di Komnas HAM terkait peristiwa Trisakti dan Semanggi, Kontras pun harus rela “dikangkangi” oleh hak prerogatif presiden. Anda memang berhak berteriak, tetapi tak berhak melanggar konstitusi.

Pamor Parpol.
Suka atau tidak, rakyat tinggal menunggu keputusan DPR. Penulis memprediksi, DPR akan setuju meski dengan beberapa catatan. Bukankah perang argumen diam-diam sudah berlangsung selama lebih dari 2 minggu. Meskipun perang itu di bawah bendera Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo, tetapi akhirnya damai akan datang ke depan mata. Tak mungkin politisi tak tahu kemana ia inginkan angin bertiup! Jadi, bila kontroversi masih tetap berlangsung di media cetak dan elektronik, jangan risau. Itu memang diperlukan untuk menjaga pamor partai. Anggap saja sebagai bagian dari make-up jangka panjang. Anggap saja Itu sebuah contoh berpolitik di Indonesia.

Salam, Bung Deak
timbul-nadeak.blogspot.com

Jumat, 01 Oktober 2010

Agar Obyektif, FPI diminta nonton Film Gay-Lesbi Dulu.

http://entertainment.kompas.com/read/2010/09/29/12255489/Agar.Obyektif..FPI.Diminta.Nonton.Film.Gay.Lesbi.Dulu
 
JAKARTA, KOMPAS.com — Komnas Hak Asasi Manusia menilai Front Pembela Islam tidak seharusnya memberikan peringatan bahkan terkesan mengancam untuk menghentikan rangkaian pemutaran film di acara Q Film Festival 2010 yang berlangsung dari 24 September hingga 3 Oktober 2010 itu.

Komisioner Komnas HAM, Johny Nelson Simanjuntak, mengatakan, Front Pembela Islam atau FPI seharusnya memberikan penilaian yang obyektif terlebih dahulu tentang film-film yang akan diputar. 

"Kalau tidak menonton, tidak mungkin bisa memberikan penilaian yang obyektif. Rekan-rekan FPI diminta menonton dululah dan baru memberikan penilaian. Kalau teman-teman tidak bisa menonton itu karena menyalahi iman mereka, ya bisa meminta ahli untuk menonton sehingga bisa memberikan penilaian obyektif. Jangan langsung memberhentikan penyiaran, itu kan tidak bagus," ungkapnya saat dihubungi  Kompas.com, Rabu (29/9/2010).

Menurutnya, teman-teman di FPI mendatangkan ahli dan menontonnya untuk memberikan pendapat obyektif terhadap film-film itu. "Teman-teman transeksual juga kiranya mendengar pendapat yang disampaikan mereka. Perlu sikap yang moderat dari semua pihak," tambahnya.

Johny mengatakan, Komnas HAM belum dapat menyatakan sikap terhadap boleh atau tidaknya pemutaran film bertemakan kehidupan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) ini sebelum memperoleh informasi yang cukup mengenai film-film yang akan diputar.

Namun yang pasti, Komnas HAM mendukung kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, termasuk dari kalangan LGBT, selama tidak bertentangan dengan UU yang menjadi koridor kehidupan di Indonesia.

"Kebebasan juga tidak berarti kemauan sendiri-sendiri. Tidak berarti juga orang membikin koridor atas kebebasan sendiri, tidak benar juga. Orang bebas semaunya tidak bisa. Orang membatasi kebebasan juga tidak bisa. Harus ada kesepakatan atas kebebasan yang bisa melindungi orang-orang yang mengekspresikan, tapi juga harus ada batasnya, yaitu UU sebagai kesepakatan nasional," paparnya.

FPI juga harus menjelaskan alasan mereka menyampaikan protes yang keras terkait penyelenggaran festival tersebut. Hal ini mengingat bahwa penyelenggaraan Q Film Festival bukanlah yang pertama digelar, tetapi sudah berlangsung hampir 10 tahun.

Lebih jauh, Johny mengatakan bahwa kedua pihak harus terbuka, apakah aspirasi FPI sudah pernah disampaikan sebelumnya lantas diacuhkan, atau justru protes baru kali ini disampaikan dan langsung (menolak) dengan cara yang keras.

Komnas HAM berharap ada ruang mediasi di antara kedua pihak untuk menemukan jalan keluar. Menurut Johny, pemberhentian pemutaran film seharusnya tak perlu dilakukan jika film-film memang bermuatan edukasi untuk kaum LGBT. Lagi pula, penonton festival film ini memang dibatasi melalui keanggotaan komunitas tertentu. 

Lantas apa Q! Film Festival? Seperti diinformasikan situs http://www.goethe.de "Q! Film Festival adalah festival film internasional terbesar kedua di Indonesia sekaligus satu-satunya festival film LGBT di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Festival ini mempresentasikan film dan video terbaik dari seluruh dunia mengenai homoseksualitas, permasalahan seputar gender, seksualitas, mode, hak asasi manusia, dan HIV/AIDS. Q! Film Festival adalah mitra resmi dari “Teddy Award” Festival Film Berlin.