Memuat opini, berita, komentar, kata mutiara dalam kehidupan, termasuk beberapa cerpen saya yang terbit di media cetak.

Jumat, 10 September 2010

Cerpen Anak: Si Agus Juara

                           Kompas, July 2010. 
Cerpen Anak: Timbul Nadeak.

TELAH SEMINGGU Agus kesal, teman-teman sekelas mengubah namanya menjadi Agus Kurus. Nama itu sesuai dengan tubuhnya yang kurus.

Di kelas, ada dua anak yang bernama Agus. Satu Agus Hadi, dan yang satu lagi Agus Pratikno. Agus Hadi berbadan gendut, tetapi teman-teman tak menamainya Agus Gendut. Mengapa dia yang kurus dinamai Agus Kurus?

Sebenarnya teman-teman Agus tak bermaksud menyakiti hatinya. Mereka menamai Agus Kurus hanya untuk membedakan saja. Ketika sedang bermain bersama, pernah seorang teman berkata ”Si Agus masuk grup kita.” Teman yang lain bertanya ”Agus yang mana?”

Pernah juga terjadi ”Mana si Agus?” Yang ditanya malah balik bertanya, ”Agus yang mana?” Akhirnya teman-teman menamainya si Agus Kurus.

Mama diam-diam memerhatikan perubahan yang terjadi pada wajah Agus. Wajahnya cemberut, bibirnya jarang tersenyum.

Perubahan juga terjadi ketika Agus makan. Biasanya, sepiring nasi beserta lauk sudah cukup. Namun, sekarang dua piring habis dilahap Agus. Padahal, tak ada yang istimewa pada masakan itu.
Mama menduga ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Akhirnya Mama bertanya ”Ada apa Agus? Mengapa sekarang tiba-tiba kuat makan? Makannya lahap, tetapi cemberut!”


AGUS MALAS menjawab. Perutnya sudah gembung kekenyangan.
”Anak Mama kok diam saja, ada masalah? Ayo ceritakan, nanti Mama bantu menyelesaikan masalahnya.”
Setelah termenung sejenak, akhirnya Agus berkata ”Teman-temanku menamai aku si Agus Kurus.”

Mama tersenyum mendengarnya. ”Jadi itu sebabnya Agus makan sampai dua piring? Ingin gendut, ya. Kalau sudah gendut, apa suka dinamai Agus Gendut?”

Lalu Mama menasihati, ”Makan secukupnya saja, kalau sudah kenyang, berhenti makannya. Biar kurus tetapi sehat. Yang penting sehat!”

”Tidak kurus juga penting, Ma,” jawab Agus.

”Kalau Agus tidak suka dinamai seperti itu, berusahalah untuk mengubahnya.”

”Caranya bagaimana, Ma?” tanya Agus.

”Menjadi yang terbaik di antara teman-temanmu!”

Agus terdiam sejenak. Dia seperti merenung. Akhirnya kepala Agus mengangguk. Dia mengerti dan berniat untuk menjadi yang terbaik di kelasnya.


SEKARANG SETIAP hari Sabtu pagi dan Minggu pagi, Agus melatih dirinya berlari cepat di sebuah lapangan sepak bola. Kebetulan lapangan itu sangat dekat dengan rumah. Keringat bercucuran setiap kali ia selesai latihan. Hatinya senang karena dia berlatih menjadi pelari tercepat di kelasnya. Selain itu, tubuhnya menjadi lebih sehat dan segar.

SETELAH MENUNGGU selama dua bulan, akhirnya tiba hari yang dinantikan Agus. Dia sangat bersemangat ketika Ibu Guru kelasnya mengadakan perlombaan lari cepat 100 meter.

Anak laki-laki dibagi menjadi beberapa grup. Satu grup terdiri dari 5 orang. Semuanya ada 5 grup. Tepat ketika peluit berbunyi, tubuh Agus melesat cepat. Teman- temannya tertinggal.

Agus berhasil dengan mudah menjadi juara di grupnya. Akan tetapi, perlombaan belum selesai.

Setelah semua grup berlomba, setiap juara dikumpulkan kembali menjadi satu grup. Lalu Bu Guru memberi aba-aba untuk bersiap-siap.

Di garis start, Agus dan teman-temannya membungkuk kembali, tetapi dengan wajah mereka menghadap ke depan. Telapak tangan menapak tanah. Kaki ditekuk berancang-ancang. Ketika peluit berbunyi, tubuh Agus kembali melesat cepat. Teman-temannya tertinggal di belakangnya.

Beberapa detik kemudian, dia mengangkat kedua tangannya setelah jadi pelari pertama yang mencapai garis finis. Agus menjadi juara!

Namun, esok harinya, dia bersedih kembali. Tidak semua teman-temannya menghargainya sebagai juara.
Dia tahu hal itu dari salah seorang sahabat.

”Kata mereka, si Agus Pratikno menjadi juara karena tubuhnya kurus. Tubuh kurus, kan ringan. Dibantu tiupan angin, tubuhnya bisa berlari lebih cepat.”

Agus sedih dan ingin marah mendengar cibiran seperti itu. Wajahnya kembali cemberut. Apalagi karena dia masih tetap dipanggil si Agus Kurus!

BEBERAPA HARI kemudian, sambil menangis dia menceritakan kesedihannya kepada Mama.
Mama kembali menasihatinya: ”Jangan sedih. Jangan jadi anak cengeng,” kata Mama sambil menghapus air matanya.

”Kata Mama, kan menjadi yang terbaik di antara teman-temanmu. Jadi jangan hanya yang terbaik dalam lomba lari 100 meter. Coba berusaha menjadi yang terbaik dalam pelajaranmu. Menjadi anak yang paling pandai di kelas!”

Agus menganggukkan kepalanya. Dia benar-benar telah mengerti apa yang dinasihatkan Mamanya.
Sejak saat itu dia mengurangi jam bermain sehingga dapat menambah jam belajar. Dia juga tak lagi memaksakan diri untuk makan sebanyak-banyaknya.

Perut yang kekenyangan membuat dia malas bergerak. Lebih baik kurus, tetapi sehat! katanya dalam hati.

TIGA BULAN sebelum penerimaan rapor kenaikan kelas, Agus giat belajar. Apabila ada pelajaran yang belum dipahami, tanpa malu-malu dia bertanya kepada Papa atau Mama. Dia sangat senang karena Papa dan Mama ternyata bisa juga menjadi gurunya di rumah.

Di kelas, Ibu Guru juga memerhatikan perubahan pada diri Agus. Diam-diam Ibu Guru mengagumi nilai-nilai pelajaran yang diraih Agus, terutama untuk pelajaran Matematika dan Membaca.

Agus selalu mendapatkan nilai 10 untuk pelajaran Matematika. Nilai sembilan untuk pelajaran Membaca. PR yang dikerjakan selalu mendapat angka 10. Dulu dia tidak pernah mendapat angka sembilan dan 10.
Agus terus belajar dengan giat. Juga tetap rajin berolahraga. Selain lari cepat, dia juga berhasil menjadi juara lompat jauh.

Agus tak peduli walau masih ada beberapa teman mencibir ”Si Agus Kurus bisa melompat jauh karena badannya ringan!”

Cibiran seperti itu tidak membuatnya kesal. Dia hanya ingin melaksanakan nasihat Mama. Dia bertekad untuk menjadi yang terbaik.

Pada hari pembagian rapor kenaikan kelas, Agus datang ke sekolah dengan Mama. Hatinya berdebar-debar ketika giliran Mama masuk ke dalam kelasnya. Dia merasa Mama sangat lama berbicara dengan Ibu Guru. Ketika Mama akhirnya muncul dari balik pintu, Agus segera berlari menghampiri. Mama langsung memeluknya dengan terharu. Walau berbisik, suara Mama jelas terdengar ”Agus menjadi juara pertama di kelas!”

AGUS MELOMPAT- lompat kegirangan sambil jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V. Huruf tanda kemenangan. Dia baru berhenti setelah menyadari Bu Guru berdiri di sebelah Mama.
”Selamat ya Agus. Tetapi, kamu harus tetap belajar dan berolahraga. Pertahankan prestasimu,” kata Ibu Guru sambil menyalaminya.

”Ya Bu,” jawab Agus sambil tersenyum bangga.

Teman-teman Agus yang melihat kejadian itu turut bergembira. Mereka turut mengacungkan jari tangan yang membentuk huruf V.

Lalu tiba-tiba ada salah seorang teman berteriak ”Hidup Agus Juara!” Tak lama kemudian, teman-teman yang lain berteriak ”Agus Juara! Agus Juara!”

Dalam pelukan Mama, Agus tersenyum bangga. Sejak saat itu dia dipanggil si Agus Juara.

July 2010.
Timbul Nadeak Penulis Cerita Anak, Tinggal di Jakarta

2 komentar: