http://politik.kompasiana.com/2010/08/29/harga-diri-adalah-harga-mati/
Harga Diri adalah kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri kita. Dari definisi itu jelas terlihat bahwa harga diri adalah sebuah variabel yang tidak selalu sama dan tidak selalu berlaku tetap bagi setiap orang. Oleh karena itu, harga diri seseorang berkelas Presiden tidak sama dengan harga diri seseorang berkelas Gembel.
Dalam kasus tertentu, harga diri “menjadi” bernilai sama bila ada kasus tertentu yang membuat harga diri seseorang menyentuh titik nadir, atau titik terendah yang secara umum membuat semua orang merasa terhina. Dalam konteks insiden penangkapan dan perlakuan Polisi Diraja Malaysia terhadap 3 petugas KKP Indonesia, harga diri itu telah menyentuh titik nadir hingga rakyat, tokoh, maupun mantan pejabat di RI ini merasakan bahwa insiden itu telah menyentuh harga dirinya. Meskipun ada segelintir orang yang tak merasakan hal itu, tetapi tak logis bila membantah bahwa pada titik ini, harga diri itu adalah harga mati. Harga yang tidak dapat ditawar lagi. Dengan kata lain, insiden itu membuat rakyat negeri ini berada pada titik harga diri berkelas gembel.
Bila pemimpin-pemimpin negeri ini tak mampu berbuat sesuatu untuk mengangkat harga diri itu dari titik nadir, maka “harga mati” akan berontak dalam kemarahan (maaf, ini sangat rasional sehingga saya berani mengatakannya secara gamblang) dan berpikir untuk mengganti pemimpin-pemimpinnya yang tak mampu “membeli” harga mati itu. Sejarah membuktikan bahwa hal seperti itu bisa saja terjadi setiap saat dan tak dapat diprediksi dengan tepat kapan dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Kalimat ini saya tuliskan secara gamblang karena saya mencintai negara RI ini.
Tulisan ini saya buat untuk mengingatkan pemimpin-pemimpin negeri ini untuk segera bersikap tegas dan keras untuk menegakkan kedaulatan negara yang juga adalah harga mati. Dan sikap itu harus dapat diterjemahkan rakyatnya sebagai sikap pemimpinnya untuk “mengobati” harga diri bangsa sekaligus mengangkatnya dari titik nadir.
Mempertimbangkan bahwa insiden perbatasan laut antara Indonesia dan malaysia sudah sering terjadi, maka kata-kata “tak sejengkalpun akan dibiarkan merebut kedaulatan negara RI” hanya dapat menjadi vitamin untuk mengobarkan sikap patriotisme ketika perang sudah dimulai. Itu bukan obat. Gaya bicara Menlu Marty Natalegawa yang banyak bermain kata-kata, sesungguhnya hanya dapat menyembunyikan makna yang terjadi untuk sementara waktu. Dan bila pada akhirnya rakyat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, justru gaya seperti itu dapat menyulut asap menjadi api. Jadi itu pun bukan obat.
Bung Deak,
Jakarta, 30 Agustus 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar