Memuat opini, berita, komentar, kata mutiara dalam kehidupan, termasuk beberapa cerpen saya yang terbit di media cetak.

Senin, 27 September 2010

Cerpen: Ronggur si Rajanami.

Cerpen: Timbul Nadeak.

Meski caping telah menaungi kepalanya, wajah dan tengkuk Ronggur langsung berkeringat setelah mencocokkan beberapa ikat benih padi. Padahal, bila awan sedang berpesta, ia sanggup mencocokkan sekarung benih tanpa keringat. Dan bila pesta itu semakin meriah, ia akan menengadah sambil tersenyum lebar. Diamatinya awan berlapis-lapis yang sedang menyantap hidangan para Raja. Lalu dicarinya celah di angkasa untuk mengejek matahari yang meringkuk dari tatapannya.

Bah, menjemukan, jawab batinnya menggerutu. Ia memang selalu menggerutu. Menggerutu setiap kali membersihkan lumpur yang berkerak di kakinya. Menggerutu pula karena belum pernah mencicipi lezatnya hidangan para Raja. Ia baru berhenti menggerutu setelah hatinya berani menghunus parang untuk bertarung melawan kejemuan seorang petani.

Dengan menjinjing sebuah tas, ia berangkat dengan kapal laut, dan 3 hari kemudian tiba di pelabuhan Tanjung Priok. Di sini tak ada caping dan lumpur berkerak, bisik batinnya setelah menginjak, tanah tempat mencocokkan tiang beton dan menabur fondasi. Pada malam pertama dan kedua, ia menginap di rumah pamannya. Pada malam ketiga, ia mendengkur di sebuah bangku panjang di terminal bus Pulogadung.

Sebenarnya, ia hanya bermaksud berbaring sejenak karena merasa tubuhnya lunglai seperti seikat bayam yang sedang dijajakan di trotoar sebuah pasar sayur dadakan. Layu dan loyo dengan cepat dipelototi matahari. Kerongkongannya pun kerontang setelah seharian naik turun tangga belakang bus, sambil meneriakkan nama halte yang sebenarnya masih sangat asing baginya. Bila kernet di pintu depan berteriak “Pulomas!” maka di pintu belakang ia harus berteriak lebih keras sebanyak 2 kali “Pulomas!! Pulomaaas!!”

Setelah dua tahun menjadi kernet, dan sesekali menjadi sopir tembak, ia mengkredit sepeda motor. Setahun kemudian, ia memutuskan menjadi pengojek. Menjadi kernet ternyata tak lebih dingin daripada panasnya matahari yang memanggang capingku dulu, kata batinnya mengeluh. Apalagi panasnya sering disertai kibasan debu.

Dulu, ketika ia sedang mencocokkan padi, tak ada debu-debu beterbangan. Setelah setahun mengojek, tubuh Ronggur berubah menjadi tegap dan berwarna hitam. Demikian pula hatinya, berubah menjadi basah dan lembek karena sedang dipersiapkan menjadi lahan subur tempat mencocokkan benih cinta seorang perempuan.

Perempuan yang sedang menggenggam benih itu telah membuatnya gelisah memendam perasaan. Cinta telah membuat irama jantungnya meletup-letup bersenandung setiap kali perempuan itu melangkah mendekati pangkalan ojeknya. Tak tahan memendam rasa, setengah nekat, dilamarnya perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik konfeksi itu.

“Aku memang masih miskin. Tapi bertanggung jawab. Kalau kau mau jadi istriku, aku akan berjuang agar tidak miskin selamanya.”

Entah karena terpesona melihat ketulusan di wajahnya, atau karena merasakan getaran kesungguhan ketika melamarnya, perempuan itu akhirnya mengangguk lemah. “Kutunggu buktinya,” jawab perempuan itu sambil tersenyum malu.

Setahun setelah menikah, istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki. Tapi karena menggunakan masa cuti hamil lebih dari 2 bulan, istrinya dipecat. Ronggur meradang. Sesekali, geram. Apalagi bila melihat kerepotan istrinya memasak, mencuci, sekaligus mengurus bayi yang sangat mereka sayangi. Akhirnya, ia menyewakan ojeknya. Lalu -setelah berbantah-bantahan dengan istrinya- ia diizinkan menjual satu-satunya kalung emas milik istrinya. Ditambah dengan sedikit uang yang masih ia miliki, dibelinya linggis, pahat, beberapa besi pengait, godam, dan kompresor. Disewanya sebuah gubuk di atas tanah garapan di pinggir jalan Raya Cilincing, jalan menuju pelabuhan Tanjung Priok yang di tengahnya dibelah oleh jalan tol. Sedikit lahan kosong di depan gubuk itu dipergunakannya sebagai tempat tambal ban dan menjual angin.

Sejak menempati gubuk itu, ia selalu mengawasi bayinya. Pada minggu pertama, di siang atau pun malam hari, bayinya selalu terbangun setiap kali truk peti kemas atau truk gandeng melintas. Dipan bayinya bergetar. Pada minggu kedua, hanya di malam hari bayinya selalu terbangun. Sepanjang malam hal seperti itu terjadi beberapa kali. Dan beberapa kali pula ia mengumpat: “Pilih jalan tol di sebelahmu, Berengsek! Sopir kikir!”

Baru pada minggu ketiga bayinya mulai terbiasa. Sebaliknya, ia yang semakin tak terbiasa. Terutama bila tidur dengan posisi telinga menempel di ubin. Meski menggunakan bantal, dari jarak 1 kilometer suara ban sudah terdengar menderu. Semakin dekat, suaranya bergemuruh dan getarannya semakin keras. Seperti hendak melumat gubuknya.

Setelah 2 tahun menjadi penambal ban, tiba-tiba pamannya datang berkunjung. Ia sangat terkejut. Gugup. Malu. Dan tertegun ketika pamannya menyarankan agar ia pulang saja ke kampungnya di pinggir danau Toba, di Tanah Batak.

"Di sana masih ada sepetak sawahku. Sudah hampir setahun orangtua yang menggarapnya tinggal di bersama anaknya. Di atas sawah itu ada rumah panggung. Meski rumah itu terbuat dari papan, tetapi ada dapur, kamar tidur, dan ruang tamunya. Rumah itu lebih layak daripada tempat ini!”

***

Ronggur menarik nafas panjang setelah membuka pintu belakang rumahnya. Ditatapnya permukaan danau Toba yang masih bermesraan dengan putihnya embun pagi. Sambil menggigil menahan dinginnya hembusan angin, ia bergumam: “Kalau udara bersih dan segar ini bisa dikemas, pasti laris dijual. Orang-orang yang sedang menunggu bus di halte, tentu lebih suka membeli kemasan udara daripada menutup hidungnya dengan telunjuk dan ibujari.”

Terbayang ketika ia membuka pintu depan gubuknya. Debu-debu yang beterbangan langsung menyergapnya. Sesekali, debu-debu itu datang bersama dengan rombongan asap yang disemburkan oleh knalpot berbahan bakar solar. Pekat. Seperti gas air mata yang sering ditembakkan polisi untuk menghalau demonstran di depan gerbang gedung wakil rakyat. Oleh karena itu, setiap pagi ia harus memulai harinya dengan memompa dan menampung air dari sumur pompa dragon. Air itu harus ia lemparkan ke sekitar gubuknya hingga ke tengah jalan. Berulang-ulang. Hingga seluruh tanah di sekitar gubuknya menjadi lembab. Hal yang sama diulanginya pada siang dan sore hari.

Ronggur tersenyum. Sinis. Jakarta hanya sebuah kota untuk mencocokkan tiang beton agar bertambah cahayanya di malam hari, kata batinnya. Di bawah kilau cahayanya, ternyata terselip-selip ruang-ruang sempit dan kumuh yang tak terhitung jumlahnya. Ruang-ruang yang hanya sempat dilirik karena hampir tak terlihat. Atau memang sengaja memalingkan kepala agar tak melihat.

Hanya pada musim hujan, ruang-ruang sempit dan pengap itu terasa menjadi lebih luas. Udara lebih bersih. Tak terlalu sesak bernafas. Tapi pada musim itu pula, di tengah kota, banyak kolam yang bisa dilalui kenderaan. Tanah merah yang berceceran dari truk pengangkutnya pun tiba-tiba saja berubah kelamin. Dari debu di musim kemarau, menjadi lumpur di musim hujan. Jika diinjak oleh kaki telanjang, 1 jam kemudian, celah di antara ruas-ruas jari akan berkerak. Bah…!

Awan sedang berpesta ketika Ronggur berangkat ke pasar hewan. Uang hasil penjualan sepeda motor, kompresor, dan barang-barang lainnya, akan ditukarnya dengan beberapa ekor anak kerbau.

Pada sore harinya, seperti monyet yang terjun ketika diumpan sesisir pisang, ia pun melompat dari truk yang membawa 3 ekor kerbaunya. Dibelinya seekor kerbau jantan muda dan 2 kerbau betina yang baru disapih dari induknya. Beberapa hari kemudian, dengan mengandalkan pecut, kerbau jantan itu dipaksanya untuk membajak sawahnya. 
***
“Sekarang, lahan sawah semakin sedikit. Harga kerbau semakin mahal. Petani lebih suka menjual kerbaunya dan menggantinya dengan cangkul,” kata seorang tetangga yang bertandang ke rumah Ronggur.

“Capek membalik tanah dengan cangkul.”

Tetangganya bertanya dengan nada membujuk: “Boleh kupinjam kerbaumu?” .

Ronggur terkejut. Tapi di sudut bibirnya ada senyum yang berusaha dikulumnya. “Tak elok kalau tak berterus-terang. Kerbau butuh makan. Dan kau pun sudah mengatakannya, kerbau itu mahal harganya,” katanya dengan hati-hati.

“Aku tahu itu. Tentu tak elok meminjam kalau tak ada sewanya. Orangtua kita, dulu, membayar sewanya dengan padi. Dibayar setelah panen. Dan yang meminjam yang memberi makan.”

Sejak saat itu, kerbau jantannya selalu berpindah tangan. Beberapa kali langsung berpindah dari seorang petani ke petani lain. Bahkan hingga ke petani di perbatasan kampung. Hanya sesekali Ronggur berkeliling dengan sepeda untuk mengawasi keberadaan kerbaunya.

“Maringan, di mana kerbauku?”

“Dipinjam si Tumpak dua hari,” kata Maringan. “Dipinjam boru Purba tiga hari,” kata Tumpak. “Dipinjam si Poltak sehari,” kata boru Purba.

Sebelum musim panen tiba, Ronggur membuat lumbung di kolong rumahnya. Pada saat ia sibuk bekerja, seseorang yang sedang melintas berhenti di depan rumahnya, kemudian bertanya setengah berteriak.

“Ronggur, kau tak takut kerbaumu hilang?”

“Petani dengan kerbau seperti sirih dengan pinang. Pasti mereka jaga!”

“Kalau terlepas dan pergi ke kampung orang lain?”

“Kerbauku tahu jalan pulang ke sini!”

Setelah melewati 2 kali musim tanam, kedua ekor kerbau betina yang dimilikinya turut disewakan sehingga padi di lumbungnya semakin penuh. Biasanya, seminggu setelah panen, datang seorang tengkulak untuk membeli seluruh isi lumbungnya. Lalu sepertiga hasil penjualan sawah yang digarapnya, dikirimnya ke pamannya di Jakarta.

Setelah 3 tahun menjadi petani, Ronggur kembali mengalami hal yang mengejutkan. Pada malam itu, ia sedang mengikuti acara rembuk adat untuk menetapkan status saur matua terhadap kematian seseorang yang sudah sangat tua. Kematian saur matua merupakan kehormatan secara adat terhadap orangtua yang meninggal. Penghormatan itu perlu diberikan karena semua anak orangtua yang meninggal itu, anak lelaki maupun perempuan, telah menikah dan memberinya cucu. Memotong kerbau merupakan salah satu penghormatan adat terhadap kematian saur matua.

Setelah acara rembuk adat itu selesai, salah seorang wakil keluarga yang berduka itu mendekati Ronggur, dan ikut duduk bersila di sampingnya, di atas tikar.

“Ada yang membisikkan bahwa kau dapat menyediakan seekor kerbau untuk kami potong.”

Ronggur terkejut. Tapi dengan cepat dan sedikit tergagap, ia menjawabnya: “Ya, aku memang memiliki beberapa ekor kerbau.” Sekilas, ia membayangkan sosok kerbau jantannya.

Setelah harga disepakati, wakil keluarga itu menambahkan: “Alai ingkon horbo na mokmok da!” (Tapi harus kerbau yang gemuk ya!). “Olo, Rajanami,” (Ya, Rajakami) jawab Ronggur dengan santun. Ada keraguan dalam jawabannya. Dan ada senyum di sudut bibirnya. Tapi punggungnya tetap sedikit membungkuk ketika menjawab. Menghormat.

Sebagian hasil penjualan kerbaunya dipergunakan untuk membeli 2 ekor anak kerbau jantan, sedangkan sisanya disimpan untuk menambah pundi-pundinya. Ia juga menyempatkan diri untuk singgah di Kantor Dinas Peternakan. Dicatatnya beberapa jenis pakan yang dapat merangsang pertumbuhan lemak di tubuh kerbau. Dibelinya beberapa jenis vitamin. Dan dipelajarinya cara menyuntikkan hormon penggemuk.

Sejak saat itu, ia selalu hadir mengikuti acara rembuk adat untuk menetapkan status kematian seseorang yang sudah tua. Bila harga telah disepakati, punggungnya tetap sedikit membungkuk. Menghormat. “Olo, Rajanami!” jawabnya tanpa keraguan. Karena sudah menjadi kebiasaaan, meski bukan untuk acara rembuk adat, ia selalu memberikan jawaban yang sama kepada setiap pembeli kerbaunya.

Setelah 12 tahun menikah, Ronggur telah memiliki sebuah rumah berdinding bata. Di belakang rumah itu, ia memiliki sepetak sawah atas namanya sendiri. Kerbaunya beranak pinak. Juga ada kalung emas bermata berlian menghiasi leher istrinya. Dan bila ia menghadiri sebuah acara, seseorang selalu menyorongkan kursi sambil berkata: “Silahkan duduk di sini, Rajanami!” Bila tak ada lagi kursi kosong yang tersedia, biasanya seseorang akan bangkit dari kursinya, dan mempersilahkan ia duduk di kursi itu.
***

Ronggur adalah seorang lelaki yang tak dapat melupakan jalan Raya Cilincing. Ketika seorang keponakannya meminta agar dibantu untuk diberi pekerjaan, ia menasehati: “Beberapa tahun lagi, mungkin di kota kecil ini sudah tak ada sawah. Yang ada hanya kedai-kedai suvenir, restoran, rumah-rumah megah, vila, penginapan, dan kendaraan-kendaraan yang ramai melintasi jalan. Kalau ada sepetak tanah di pinggir jalan yang membelah kampung kita ini akan dijual, katakan, agar kubeli untuk tempat tambal ban dan menjual angin. Kau yang akan menjaganya. Mudah-mudahan, di tempat itu kau tahu bagaimana harus menjalani hidupmu!”

                                                                   Jakarta, Mei 2010.

Rajanami: Sebutan yang lazim dipergunakan suku Batak sebagai tanda hormat. Juga lazim dipergunakan untuk menunjukkan derajat orang yang diajak bicara.

Saur Matua: Sebutan untuk seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, dan semua anak-anaknya telah berkeluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar