Memuat opini, berita, komentar, kata mutiara dalam kehidupan, termasuk beberapa cerpen saya yang terbit di media cetak.
Senin, 27 September 2010
Cerpen: Ronggur si Rajanami.
Cerpen: Timbul Nadeak.
Meski caping telah menaungi kepalanya, wajah dan tengkuk Ronggur langsung berkeringat setelah mencocokkan beberapa ikat benih padi. Padahal, bila awan sedang berpesta, ia sanggup mencocokkan sekarung benih tanpa keringat. Dan bila pesta itu semakin meriah, ia akan menengadah sambil tersenyum lebar. Diamatinya awan berlapis-lapis yang sedang menyantap hidangan para Raja. Lalu dicarinya celah di angkasa untuk mengejek matahari yang meringkuk dari tatapannya.
Meski caping telah menaungi kepalanya, wajah dan tengkuk Ronggur langsung berkeringat setelah mencocokkan beberapa ikat benih padi. Padahal, bila awan sedang berpesta, ia sanggup mencocokkan sekarung benih tanpa keringat. Dan bila pesta itu semakin meriah, ia akan menengadah sambil tersenyum lebar. Diamatinya awan berlapis-lapis yang sedang menyantap hidangan para Raja. Lalu dicarinya celah di angkasa untuk mengejek matahari yang meringkuk dari tatapannya.
Bah, menjemukan, jawab batinnya menggerutu. Ia memang selalu menggerutu. Menggerutu setiap kali membersihkan lumpur yang berkerak di kakinya. Menggerutu pula karena belum pernah mencicipi lezatnya hidangan para Raja. Ia baru berhenti menggerutu setelah hatinya berani menghunus parang untuk bertarung melawan kejemuan seorang petani.
Dengan menjinjing sebuah tas, ia berangkat dengan kapal laut, dan 3 hari kemudian tiba di pelabuhan Tanjung Priok. Di sini tak ada caping dan lumpur berkerak, bisik batinnya setelah menginjak, tanah tempat mencocokkan tiang beton dan menabur fondasi. Pada malam pertama dan kedua, ia menginap di rumah pamannya. Pada malam ketiga, ia mendengkur di sebuah bangku panjang di terminal bus Pulogadung.
Sebenarnya, ia hanya bermaksud berbaring sejenak karena merasa tubuhnya lunglai seperti seikat bayam yang sedang dijajakan di trotoar sebuah pasar sayur dadakan. Layu dan loyo dengan cepat dipelototi matahari. Kerongkongannya pun kerontang setelah seharian naik turun tangga belakang bus, sambil meneriakkan nama halte yang sebenarnya masih sangat asing baginya. Bila kernet di pintu depan berteriak “Pulomas!” maka di pintu belakang ia harus berteriak lebih keras sebanyak 2 kali “Pulomas!! Pulomaaas!!”
Setelah dua tahun menjadi kernet, dan sesekali menjadi sopir tembak, ia mengkredit sepeda motor. Setahun kemudian, ia memutuskan menjadi pengojek. Menjadi kernet ternyata tak lebih dingin daripada panasnya matahari yang memanggang capingku dulu, kata batinnya mengeluh. Apalagi panasnya sering disertai kibasan debu.
Dulu, ketika ia sedang mencocokkan padi, tak ada debu-debu beterbangan. Setelah setahun mengojek, tubuh Ronggur berubah menjadi tegap dan berwarna hitam. Demikian pula hatinya, berubah menjadi basah dan lembek karena sedang dipersiapkan menjadi lahan subur tempat mencocokkan benih cinta seorang perempuan.
Perempuan yang sedang menggenggam benih itu telah membuatnya gelisah memendam perasaan. Cinta telah membuat irama jantungnya meletup-letup bersenandung setiap kali perempuan itu melangkah mendekati pangkalan ojeknya. Tak tahan memendam rasa, setengah nekat, dilamarnya perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik konfeksi itu.
“Aku memang masih miskin. Tapi bertanggung jawab. Kalau kau mau jadi istriku, aku akan berjuang agar tidak miskin selamanya.”
Entah karena terpesona melihat ketulusan di wajahnya, atau karena merasakan getaran kesungguhan ketika melamarnya, perempuan itu akhirnya mengangguk lemah. “Kutunggu buktinya,” jawab perempuan itu sambil tersenyum malu.
Setahun setelah menikah, istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki. Tapi karena menggunakan masa cuti hamil lebih dari 2 bulan, istrinya dipecat. Ronggur meradang. Sesekali, geram. Apalagi bila melihat kerepotan istrinya memasak, mencuci, sekaligus mengurus bayi yang sangat mereka sayangi. Akhirnya, ia menyewakan ojeknya. Lalu -setelah berbantah-bantahan dengan istrinya- ia diizinkan menjual satu-satunya kalung emas milik istrinya. Ditambah dengan sedikit uang yang masih ia miliki, dibelinya linggis, pahat, beberapa besi pengait, godam, dan kompresor. Disewanya sebuah gubuk di atas tanah garapan di pinggir jalan Raya Cilincing, jalan menuju pelabuhan Tanjung Priok yang di tengahnya dibelah oleh jalan tol. Sedikit lahan kosong di depan gubuk itu dipergunakannya sebagai tempat tambal ban dan menjual angin.
Sejak menempati gubuk itu, ia selalu mengawasi bayinya. Pada minggu pertama, di siang atau pun malam hari, bayinya selalu terbangun setiap kali truk peti kemas atau truk gandeng melintas. Dipan bayinya bergetar. Pada minggu kedua, hanya di malam hari bayinya selalu terbangun. Sepanjang malam hal seperti itu terjadi beberapa kali. Dan beberapa kali pula ia mengumpat: “Pilih jalan tol di sebelahmu, Berengsek! Sopir kikir!”
Baru pada minggu ketiga bayinya mulai terbiasa. Sebaliknya, ia yang semakin tak terbiasa. Terutama bila tidur dengan posisi telinga menempel di ubin. Meski menggunakan bantal, dari jarak 1 kilometer suara ban sudah terdengar menderu. Semakin dekat, suaranya bergemuruh dan getarannya semakin keras. Seperti hendak melumat gubuknya.
Setelah 2 tahun menjadi penambal ban, tiba-tiba pamannya datang berkunjung. Ia sangat terkejut. Gugup. Malu. Dan tertegun ketika pamannya menyarankan agar ia pulang saja ke kampungnya di pinggir danau Toba, di Tanah Batak.
"Di sana masih ada sepetak sawahku. Sudah hampir setahun orangtua yang menggarapnya tinggal di bersama anaknya. Di atas sawah itu ada rumah panggung. Meski rumah itu terbuat dari papan, tetapi ada dapur, kamar tidur, dan ruang tamunya. Rumah itu lebih layak daripada tempat ini!”
***
Ronggur menarik nafas panjang setelah membuka pintu belakang rumahnya. Ditatapnya permukaan danau Toba yang masih bermesraan dengan putihnya embun pagi. Sambil menggigil menahan dinginnya hembusan angin, ia bergumam: “Kalau udara bersih dan segar ini bisa dikemas, pasti laris dijual. Orang-orang yang sedang menunggu bus di halte, tentu lebih suka membeli kemasan udara daripada menutup hidungnya dengan telunjuk dan ibujari.”
Terbayang ketika ia membuka pintu depan gubuknya. Debu-debu yang beterbangan langsung menyergapnya. Sesekali, debu-debu itu datang bersama dengan rombongan asap yang disemburkan oleh knalpot berbahan bakar solar. Pekat. Seperti gas air mata yang sering ditembakkan polisi untuk menghalau demonstran di depan gerbang gedung wakil rakyat. Oleh karena itu, setiap pagi ia harus memulai harinya dengan memompa dan menampung air dari sumur pompa dragon. Air itu harus ia lemparkan ke sekitar gubuknya hingga ke tengah jalan. Berulang-ulang. Hingga seluruh tanah di sekitar gubuknya menjadi lembab. Hal yang sama diulanginya pada siang dan sore hari.
Ronggur tersenyum. Sinis. Jakarta hanya sebuah kota untuk mencocokkan tiang beton agar bertambah cahayanya di malam hari, kata batinnya. Di bawah kilau cahayanya, ternyata terselip-selip ruang-ruang sempit dan kumuh yang tak terhitung jumlahnya. Ruang-ruang yang hanya sempat dilirik karena hampir tak terlihat. Atau memang sengaja memalingkan kepala agar tak melihat.
Hanya pada musim hujan, ruang-ruang sempit dan pengap itu terasa menjadi lebih luas. Udara lebih bersih. Tak terlalu sesak bernafas. Tapi pada musim itu pula, di tengah kota, banyak kolam yang bisa dilalui kenderaan. Tanah merah yang berceceran dari truk pengangkutnya pun tiba-tiba saja berubah kelamin. Dari debu di musim kemarau, menjadi lumpur di musim hujan. Jika diinjak oleh kaki telanjang, 1 jam kemudian, celah di antara ruas-ruas jari akan berkerak. Bah…!
Awan sedang berpesta ketika Ronggur berangkat ke pasar hewan. Uang hasil penjualan sepeda motor, kompresor, dan barang-barang lainnya, akan ditukarnya dengan beberapa ekor anak kerbau.
Pada sore harinya, seperti monyet yang terjun ketika diumpan sesisir pisang, ia pun melompat dari truk yang membawa 3 ekor kerbaunya. Dibelinya seekor kerbau jantan muda dan 2 kerbau betina yang baru disapih dari induknya. Beberapa hari kemudian, dengan mengandalkan pecut, kerbau jantan itu dipaksanya untuk membajak sawahnya.
Terbayang ketika ia membuka pintu depan gubuknya. Debu-debu yang beterbangan langsung menyergapnya. Sesekali, debu-debu itu datang bersama dengan rombongan asap yang disemburkan oleh knalpot berbahan bakar solar. Pekat. Seperti gas air mata yang sering ditembakkan polisi untuk menghalau demonstran di depan gerbang gedung wakil rakyat. Oleh karena itu, setiap pagi ia harus memulai harinya dengan memompa dan menampung air dari sumur pompa dragon. Air itu harus ia lemparkan ke sekitar gubuknya hingga ke tengah jalan. Berulang-ulang. Hingga seluruh tanah di sekitar gubuknya menjadi lembab. Hal yang sama diulanginya pada siang dan sore hari.
Ronggur tersenyum. Sinis. Jakarta hanya sebuah kota untuk mencocokkan tiang beton agar bertambah cahayanya di malam hari, kata batinnya. Di bawah kilau cahayanya, ternyata terselip-selip ruang-ruang sempit dan kumuh yang tak terhitung jumlahnya. Ruang-ruang yang hanya sempat dilirik karena hampir tak terlihat. Atau memang sengaja memalingkan kepala agar tak melihat.
Hanya pada musim hujan, ruang-ruang sempit dan pengap itu terasa menjadi lebih luas. Udara lebih bersih. Tak terlalu sesak bernafas. Tapi pada musim itu pula, di tengah kota, banyak kolam yang bisa dilalui kenderaan. Tanah merah yang berceceran dari truk pengangkutnya pun tiba-tiba saja berubah kelamin. Dari debu di musim kemarau, menjadi lumpur di musim hujan. Jika diinjak oleh kaki telanjang, 1 jam kemudian, celah di antara ruas-ruas jari akan berkerak. Bah…!
Awan sedang berpesta ketika Ronggur berangkat ke pasar hewan. Uang hasil penjualan sepeda motor, kompresor, dan barang-barang lainnya, akan ditukarnya dengan beberapa ekor anak kerbau.
Pada sore harinya, seperti monyet yang terjun ketika diumpan sesisir pisang, ia pun melompat dari truk yang membawa 3 ekor kerbaunya. Dibelinya seekor kerbau jantan muda dan 2 kerbau betina yang baru disapih dari induknya. Beberapa hari kemudian, dengan mengandalkan pecut, kerbau jantan itu dipaksanya untuk membajak sawahnya.
***
“Sekarang, lahan sawah semakin sedikit. Harga kerbau semakin mahal. Petani lebih suka menjual kerbaunya dan menggantinya dengan cangkul,” kata seorang tetangga yang bertandang ke rumah Ronggur.
“Capek membalik tanah dengan cangkul.”
Tetangganya bertanya dengan nada membujuk: “Boleh kupinjam kerbaumu?” .
Ronggur terkejut. Tapi di sudut bibirnya ada senyum yang berusaha dikulumnya. “Tak elok kalau tak berterus-terang. Kerbau butuh makan. Dan kau pun sudah mengatakannya, kerbau itu mahal harganya,” katanya dengan hati-hati.
“Aku tahu itu. Tentu tak elok meminjam kalau tak ada sewanya. Orangtua kita, dulu, membayar sewanya dengan padi. Dibayar setelah panen. Dan yang meminjam yang memberi makan.”
Sejak saat itu, kerbau jantannya selalu berpindah tangan. Beberapa kali langsung berpindah dari seorang petani ke petani lain. Bahkan hingga ke petani di perbatasan kampung. Hanya sesekali Ronggur berkeliling dengan sepeda untuk mengawasi keberadaan kerbaunya.
“Maringan, di mana kerbauku?”
“Dipinjam si Tumpak dua hari,” kata Maringan. “Dipinjam boru Purba tiga hari,” kata Tumpak. “Dipinjam si Poltak sehari,” kata boru Purba.
Sebelum musim panen tiba, Ronggur membuat lumbung di kolong rumahnya. Pada saat ia sibuk bekerja, seseorang yang sedang melintas berhenti di depan rumahnya, kemudian bertanya setengah berteriak.
“Ronggur, kau tak takut kerbaumu hilang?”
“Petani dengan kerbau seperti sirih dengan pinang. Pasti mereka jaga!”
“Kalau terlepas dan pergi ke kampung orang lain?”
“Kerbauku tahu jalan pulang ke sini!”
Setelah melewati 2 kali musim tanam, kedua ekor kerbau betina yang dimilikinya turut disewakan sehingga padi di lumbungnya semakin penuh. Biasanya, seminggu setelah panen, datang seorang tengkulak untuk membeli seluruh isi lumbungnya. Lalu sepertiga hasil penjualan sawah yang digarapnya, dikirimnya ke pamannya di Jakarta.
Setelah 3 tahun menjadi petani, Ronggur kembali mengalami hal yang mengejutkan. Pada malam itu, ia sedang mengikuti acara rembuk adat untuk menetapkan status saur matua terhadap kematian seseorang yang sudah sangat tua. Kematian saur matua merupakan kehormatan secara adat terhadap orangtua yang meninggal. Penghormatan itu perlu diberikan karena semua anak orangtua yang meninggal itu, anak lelaki maupun perempuan, telah menikah dan memberinya cucu. Memotong kerbau merupakan salah satu penghormatan adat terhadap kematian saur matua.
Setelah acara rembuk adat itu selesai, salah seorang wakil keluarga yang berduka itu mendekati Ronggur, dan ikut duduk bersila di sampingnya, di atas tikar.
“Ada yang membisikkan bahwa kau dapat menyediakan seekor kerbau untuk kami potong.”
Ronggur terkejut. Tapi dengan cepat dan sedikit tergagap, ia menjawabnya: “Ya, aku memang memiliki beberapa ekor kerbau.” Sekilas, ia membayangkan sosok kerbau jantannya.
Setelah harga disepakati, wakil keluarga itu menambahkan: “Alai ingkon horbo na mokmok da!” (Tapi harus kerbau yang gemuk ya!). “Olo, Rajanami,” (Ya, Rajakami) jawab Ronggur dengan santun. Ada keraguan dalam jawabannya. Dan ada senyum di sudut bibirnya. Tapi punggungnya tetap sedikit membungkuk ketika menjawab. Menghormat.
Sebagian hasil penjualan kerbaunya dipergunakan untuk membeli 2 ekor anak kerbau jantan, sedangkan sisanya disimpan untuk menambah pundi-pundinya. Ia juga menyempatkan diri untuk singgah di Kantor Dinas Peternakan. Dicatatnya beberapa jenis pakan yang dapat merangsang pertumbuhan lemak di tubuh kerbau. Dibelinya beberapa jenis vitamin. Dan dipelajarinya cara menyuntikkan hormon penggemuk.
Sejak saat itu, ia selalu hadir mengikuti acara rembuk adat untuk menetapkan status kematian seseorang yang sudah tua. Bila harga telah disepakati, punggungnya tetap sedikit membungkuk. Menghormat. “Olo, Rajanami!” jawabnya tanpa keraguan. Karena sudah menjadi kebiasaaan, meski bukan untuk acara rembuk adat, ia selalu memberikan jawaban yang sama kepada setiap pembeli kerbaunya.
Setelah 12 tahun menikah, Ronggur telah memiliki sebuah rumah berdinding bata. Di belakang rumah itu, ia memiliki sepetak sawah atas namanya sendiri. Kerbaunya beranak pinak. Juga ada kalung emas bermata berlian menghiasi leher istrinya. Dan bila ia menghadiri sebuah acara, seseorang selalu menyorongkan kursi sambil berkata: “Silahkan duduk di sini, Rajanami!” Bila tak ada lagi kursi kosong yang tersedia, biasanya seseorang akan bangkit dari kursinya, dan mempersilahkan ia duduk di kursi itu.
“Capek membalik tanah dengan cangkul.”
Tetangganya bertanya dengan nada membujuk: “Boleh kupinjam kerbaumu?” .
Ronggur terkejut. Tapi di sudut bibirnya ada senyum yang berusaha dikulumnya. “Tak elok kalau tak berterus-terang. Kerbau butuh makan. Dan kau pun sudah mengatakannya, kerbau itu mahal harganya,” katanya dengan hati-hati.
“Aku tahu itu. Tentu tak elok meminjam kalau tak ada sewanya. Orangtua kita, dulu, membayar sewanya dengan padi. Dibayar setelah panen. Dan yang meminjam yang memberi makan.”
Sejak saat itu, kerbau jantannya selalu berpindah tangan. Beberapa kali langsung berpindah dari seorang petani ke petani lain. Bahkan hingga ke petani di perbatasan kampung. Hanya sesekali Ronggur berkeliling dengan sepeda untuk mengawasi keberadaan kerbaunya.
“Maringan, di mana kerbauku?”
“Dipinjam si Tumpak dua hari,” kata Maringan. “Dipinjam boru Purba tiga hari,” kata Tumpak. “Dipinjam si Poltak sehari,” kata boru Purba.
Sebelum musim panen tiba, Ronggur membuat lumbung di kolong rumahnya. Pada saat ia sibuk bekerja, seseorang yang sedang melintas berhenti di depan rumahnya, kemudian bertanya setengah berteriak.
“Ronggur, kau tak takut kerbaumu hilang?”
“Petani dengan kerbau seperti sirih dengan pinang. Pasti mereka jaga!”
“Kalau terlepas dan pergi ke kampung orang lain?”
“Kerbauku tahu jalan pulang ke sini!”
Setelah melewati 2 kali musim tanam, kedua ekor kerbau betina yang dimilikinya turut disewakan sehingga padi di lumbungnya semakin penuh. Biasanya, seminggu setelah panen, datang seorang tengkulak untuk membeli seluruh isi lumbungnya. Lalu sepertiga hasil penjualan sawah yang digarapnya, dikirimnya ke pamannya di Jakarta.
Setelah 3 tahun menjadi petani, Ronggur kembali mengalami hal yang mengejutkan. Pada malam itu, ia sedang mengikuti acara rembuk adat untuk menetapkan status saur matua terhadap kematian seseorang yang sudah sangat tua. Kematian saur matua merupakan kehormatan secara adat terhadap orangtua yang meninggal. Penghormatan itu perlu diberikan karena semua anak orangtua yang meninggal itu, anak lelaki maupun perempuan, telah menikah dan memberinya cucu. Memotong kerbau merupakan salah satu penghormatan adat terhadap kematian saur matua.
Setelah acara rembuk adat itu selesai, salah seorang wakil keluarga yang berduka itu mendekati Ronggur, dan ikut duduk bersila di sampingnya, di atas tikar.
“Ada yang membisikkan bahwa kau dapat menyediakan seekor kerbau untuk kami potong.”
Ronggur terkejut. Tapi dengan cepat dan sedikit tergagap, ia menjawabnya: “Ya, aku memang memiliki beberapa ekor kerbau.” Sekilas, ia membayangkan sosok kerbau jantannya.
Setelah harga disepakati, wakil keluarga itu menambahkan: “Alai ingkon horbo na mokmok da!” (Tapi harus kerbau yang gemuk ya!). “Olo, Rajanami,” (Ya, Rajakami) jawab Ronggur dengan santun. Ada keraguan dalam jawabannya. Dan ada senyum di sudut bibirnya. Tapi punggungnya tetap sedikit membungkuk ketika menjawab. Menghormat.
Sebagian hasil penjualan kerbaunya dipergunakan untuk membeli 2 ekor anak kerbau jantan, sedangkan sisanya disimpan untuk menambah pundi-pundinya. Ia juga menyempatkan diri untuk singgah di Kantor Dinas Peternakan. Dicatatnya beberapa jenis pakan yang dapat merangsang pertumbuhan lemak di tubuh kerbau. Dibelinya beberapa jenis vitamin. Dan dipelajarinya cara menyuntikkan hormon penggemuk.
Sejak saat itu, ia selalu hadir mengikuti acara rembuk adat untuk menetapkan status kematian seseorang yang sudah tua. Bila harga telah disepakati, punggungnya tetap sedikit membungkuk. Menghormat. “Olo, Rajanami!” jawabnya tanpa keraguan. Karena sudah menjadi kebiasaaan, meski bukan untuk acara rembuk adat, ia selalu memberikan jawaban yang sama kepada setiap pembeli kerbaunya.
Setelah 12 tahun menikah, Ronggur telah memiliki sebuah rumah berdinding bata. Di belakang rumah itu, ia memiliki sepetak sawah atas namanya sendiri. Kerbaunya beranak pinak. Juga ada kalung emas bermata berlian menghiasi leher istrinya. Dan bila ia menghadiri sebuah acara, seseorang selalu menyorongkan kursi sambil berkata: “Silahkan duduk di sini, Rajanami!” Bila tak ada lagi kursi kosong yang tersedia, biasanya seseorang akan bangkit dari kursinya, dan mempersilahkan ia duduk di kursi itu.
***
Ronggur adalah seorang lelaki yang tak dapat melupakan jalan Raya Cilincing. Ketika seorang keponakannya meminta agar dibantu untuk diberi pekerjaan, ia menasehati: “Beberapa tahun lagi, mungkin di kota kecil ini sudah tak ada sawah. Yang ada hanya kedai-kedai suvenir, restoran, rumah-rumah megah, vila, penginapan, dan kendaraan-kendaraan yang ramai melintasi jalan. Kalau ada sepetak tanah di pinggir jalan yang membelah kampung kita ini akan dijual, katakan, agar kubeli untuk tempat tambal ban dan menjual angin. Kau yang akan menjaganya. Mudah-mudahan, di tempat itu kau tahu bagaimana harus menjalani hidupmu!”
Jakarta, Mei 2010.
Rajanami: Sebutan yang lazim dipergunakan suku Batak sebagai tanda hormat. Juga lazim dipergunakan untuk menunjukkan derajat orang yang diajak bicara.
Saur Matua: Sebutan untuk seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, dan semua anak-anaknya telah berkeluarga.
Jumat, 24 September 2010
Anak-anakmu.
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir dari engkau tetapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tetapi mereka bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu tetapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tetapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok yang tak dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi mereka tetapi jangan coba menjadikan mereka seperti dirimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan juga tidak berada di masa lalu.
Engkau adalah busur tempat anak-anakmu menjadi anak panah hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan merenggangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah meluncurkannya dengan kekuatan penuh.
(Kahlil Gibran)
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka terlahir dari engkau tetapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tetapi mereka bukan milikmu.
Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu tetapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri
Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tetapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok yang tak dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi
Engkau bisa menjadi mereka tetapi jangan coba menjadikan mereka seperti dirimu
Karena hidup tidak berjalan mundur dan juga tidak berada di masa lalu.
Engkau adalah busur tempat anak-anakmu menjadi anak panah hidup diluncurkan
Sang pemanah telah membidik arah keabadian, dan merenggangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh
Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan
Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah meluncurkannya dengan kekuatan penuh.
(Kahlil Gibran)
Jumat, 17 September 2010
Stephen Hawking
Kematian adalah bagian akhir dari sebuah siklus kehidupan. Mungkin karena akhir dari sebuah perjalanan yang bernama kehidupan, kematian itu ditangisi. Padahal semua manusia, tanpa kecuali, akan mengalami hal itu juga. Hanya waktunya berbeda-beda. Tepatnya kapan, itulah salah satu rahasia Tuhan. Dan aku jadi bertanya dalam hati: "Siapa-siapa saja kelak yang akan menangisi kematianku?"
Ketika Stephen Hawking, fisikawan Ingris yang sangat tersohor itu mengumumkan teori terbarunya: "Bahwa keberadaan manusia dan alam semesta bukan hasil ciptaan Tuhan, melainkan muncul dengan sendirinya. Sebab ada hukum gravitasi, alam semesta dapat menciptakan dirinya sendiri."
Setelah membaca artikel itu, aku bertanya pula pada diriku sendiri: "Bagaimana nanti kehidupanku setelah kematian tiba?" Kalau pertanyaan itu kuajukan pada si Hawking itu, mungkin ia akan menjawab: "Tergantung gravitasi roh kau. Kalau gravitasinya nol atau minus, pasti kau akan melayang ke angkasa mengikuti kehendak alam semesta. Mungkin akan jadi partikel meteor. Kalau gravitasimu plus, kau akan melayang-layang di bumi seperti setan yang suka gentayangan dan tertawa terkekeh-kekeh di antara rimbunan daun bambu!"
Hawking, aku tetap mempercayai Tuhanku, karena ia menjajikan surga setelah kematian. Sedangkan kau tak menjanjikan apa-apa. (foto: tempointeraktif.com)
Kamis, 16 September 2010
Candi Cangkuang.
Di Garut, Jawa Barat, selain Situ Bagendit dan Pemandian Air Panas, ternyata ada salah satu objek wisata yang semakin sering dikunjungi wisatawan dalam negeri dan maca negara. Objek wisata itu bernama Candi Cangkuang. Untuk keperluan akomodasi, setiap pengunjung rata-rata mengeluarkan biaya Rp.400.000,-/hari, dan untuk wisatawan manca negara rata US $ 120. (foto: tempointeraktif.com).
Minggu, 12 September 2010
Satire: Gila Jilat.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, ada 9 kata gila. Dan arti gila adalah sakit ingatan (kurang beres ingatannya); sakit jiwa (syarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal).
Dalam kehidupan ini, kita sering mendengar kata Gila Harta dan Gila Uang. Gila Harta artinya terlalu mengejar-ngejar kekayaan. Sedangkan gila Uang artinya mata duitan. Ada pula Gila Hormat yaitu terlalu ingin dihormati orang lain. Tahu pulakah anda bahwa Gila Sasar artinya sangat gila, dan Gila Bayang-bayang artinya rasa menginginkan sesuatu yang tidak mungkin tercapai.
Tapi ada 1 kata yang sangat saya harapkan menambah kosa kata gila dan masuk dalam kamus besar Bahasa Indonesia, yaitu Gila Jilat. Jenis gila yang satu ini sangat terasa hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan sangat banyak manusia yang mengaguminya sehingga tidak merasa sungkan sedikit pun untuk “menjilat-jilat”, misalnya menjilat-jilat atasannya agar hartanya terus bertambah, pangkatnya terus naik, dan semakin membutuhkan rasa hormat dari orang lain. Itulah arti kata Gila Jilat.
Timbul Nadeak.
Sabtu, 11 September 2010
Mutiara Kata: Albert Einstain dan Johanes Lim
Dunia ini menjadi tempat berbahaya, bukan karena ada orang yang berbuat jahat, melainkan karena ada orang yang melihat terjadinya kejahatan tetapi tidak melakukan tindakan apapun (Albert Einstein). Bukan karena penjahatnya hebat. Melainkan karena orang baiknya, sekalipun banyak, hanya diam saja ketika orang jahat melaku...kan kejahatannya. Orang baiknya telah menjadi PENGECUT. (Johanes Lim-Sang Motivator).
Malaysia, Kapal Selam yang Tak Bisa Menyelam.
Nurul Izzah, putri tokoh oposisi Anwar Ibrahim, dituduh penghianat bangsa karena mengatakan bahwa kapal selam Malaysia yang dibeli dari Perancis ternyata "tidak bisa menyelam dan persenjataan yang dibeli ternyata sudah kadaluarsa". Nurul menjelaskan bahwa keterangannya itu berdasarkan keterangan Menteri Pertahanan Malaysia yg disampaikan di Dewan Rakyat tentang "kapal selam yg tidak bisa menyelam!" (Foto: kompas.com)
Indonesia-Malaysia, Perlukah Kata Maaf?
Mengapa mengharapkan sebuah kata maaf? Apakah dengan kata itu semua persoalan akan beres? Jika kesalahan yang sama baru 1 atau 2 kali terjadi, aku pun ihklas menerima kata itu. Apalagi bila disampaikan dengan tulus. Tapi untuk kasus yang sudah berulang-ulang kali terjadi, menerima kata MAAF seperti itu berarti merendahkan diriku sendiri. Orang itu pasti kutampar!
Mengharapkan perang juga bukan jalan terbaik untuk mengembalikan wibawa dan martabat bangsa Indonesia tercinta ini. Tapi membiarkan dan tetap membuka peluang hal yang sama terulang kembali juga bukan merupakan sikap yang tepat. Sangat wajar jika Presiden SBY dapat meredakan gejolak di Indonesia dengan pidato yang membanggakan dapat dengan mudah dipahami oleh rakyat Indonesia. Cukup 2 atau 3 kalimat yang bernada tegas dan "keras" seperti: "Dengan ini saya perintahkan kepada TNI untuk menjaga tapal batas maritim secara intensif, dan saya sangat prihatin jika insiden seperti itu berulang kembali di kemudian hari sehingga saya harus mengambil sikap keras".
Ada juga kalimat-kalimat lain yang tegas tetapi sedikit lebih "lunak" seperti: "Dengan ini saya perintah kepada menteri-menteri terkait untuk segera menghentikan pengiriman TKI ke Malaysia, dan segera melengkapi alutsista agar dapat secepatnya digunakan untuk menjaga tapal batas maritim secara intensif." Apalagi bila kalimat-kalimat tegas seperti itu menjadi bagian dari sebuah pidato di Mabes TNI.
Bravo Indonesia. Dalam keterpurukan, kau tetap harus menunjukkan dadamu!
Mutiara Kata: Kahlil Gibran.
Kebijaksanaan tidak lagi merupakan kebijaksanaan apabila ia menjadi terlalu angkuh untuk menangis, terlalu serius untuk tertawa, dan terlalu egois untuk melihat yang lain kecuali dirinya sendiri. (Kahlil Gibran).
Kata yang paling indah di bibir umat manusia adalah kata "Ibu", dan panggilan paling indah adalah "Ibuku". Ini adalah kata penuh harapan dan cinta, kata manis dan baik yang ke luar dari kedalaman hati. (Kahlil Gibran).
Tiga Bingkai Foto Berbicara.
Aku hanya ingin memamerkan ke-3 foto cantik di bawah ini untuk dinikmati oleh rakyat terutama "orang-orang terhormat" yang mewakili rakyat Indonesia. Cantik bukan?! Foto yg pertama berjudul: "Rakyat Rebutan Sembako",(lintas berita.com) foto, kedua berjudul: "Gedung Baru Wakil Rakyat" (kompas.com), dan yang ketiga berjudul: "Lapar Setelah Menang Berjuang"(lintasberita.com).
Jumat, 10 September 2010
Pembangunan Gedung Baru DPR.
Rasanya sudah mulai jemu membicarakan gedung baru DPR, tetapi karena Ketua DPR, Marzuki Ali, selalu "luar biasa" ketika mengemukakan opininya, aku pun merasa masih perlu menanggapi.
Marzuki Ali tetap bersikukuh bahwa gedung baru sangat diperlukan dengan alasan perlu ruang untuk penambahan staf ahli 4 orang lagi. (Total... menjadi 5 + 1 sekretaris). Ho...ho.. kenapa bapak ketua ini tidak mempertimbangkan prestasi buruk anggota-anggotanya? Punya 1 staf ahli + 1 sekretaris aja sudah bolos dan tidur melulu, apalagi bila punya 5 staf ahli. Ho...ho... pakai nurani aja bicaranya, Pak!
Foto: Tempointeraktif.com
TKI di Malaysia Adalah "Kekuatan".
http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2010/09/07/09294137/Persekongkolan.RIMalaysia
Selama 2 minggu, di dinding FB-ku kutulis tentang TKI dengan kalimat-kalimat yang hampir sama: "Aku sangat yakin bahwa TKI di Malaysia lebih menguntungkan negara itu daripada devisa untuk Indonesia. Banyangkan kalau 1.5 juta TKI itu tiba-tiba disuruh pulang ke Indonesia. Aku yakin akan terjadi gejolak sosial-p...olitik di negeri jiran itu. Ini pukulan yang cukup telah jika Malaysia masih terus 'ngoceh'. TKI adalah sebuah kekuatan, bukan kelemahan.
Sehari setelah pidato presiden di Mabes TNI, aku kembali menulis seperti ini: "Dengan ini saya perintahkan agar semua babu dan kuli yang sudah diekspor untuk segera ditarik pulang dalam tempo yang sesingkat-singkatnya." Memang itulah sebenarnya sebagian isi kalimat yang ingin kudengar dalam pidato Presiden di Mabes TNI.
Dan hari ini, Sri Palupi, Direktur Ecosoc, Pernah Meneliti Masalah Buruh Migran Indonesia di Malaysia, menulis opininya mengenai TKI di bawah judul "Persekongkolan RI-Malaysia". Tulisan yang mengerikan tetapi sekaligus berani, sangat pedas, disertai analisa dan data.
Terakhir, kalau anda termasuk sebagian warga negara Indonesia yang "memuja" Malaysia, itu memang hak anda. Anda pun berhak untuk mengajukan "warga negara kehormatan Malaysia" dan menetap di Kuala Lumpur. Itu urusan anda. Tapi saya pun punya hak untuk terus mengemukakan pendapat saya.
Timbul Nadeak
Rangkaian Isu-isu yang Tertata Rapi.
Entah disengaja atau tidak, setelah kasus “obral” remisi dan pemberian grasi mendapat kecaman dan kritikan pedas, tiba-tiba secara tak sengaja muncul “insiden perbatasan Indonesia-Malaysia”. Insiden ini tiba-tiba saja bak dewa penolong bagi pemerintah karena berhasil meredupkan kasus obral remisi dan grasi. Tapi di sisi yang berbeda, insiden ini membuat rakyat emosional hingga “nyaris” menghujat kebijakan lembek yang dipilih oleh Presiden SBY untuk meredakan insiden ini.
Meski Presiden SBY telah berpidato di Mabes TNI, insiden perbatasan itu masih tetap terasa panas. Dalam panas dan semaraknya kecaman masyarakat, beberapa hari kemudian tiba-tiba naik kepermukaan kasus rencana pembangunan gedung DPR yang bernilai 1.6 triliun rupiah. Diakui atau tidak , saya merasakan bahwa rencana pembangunan gedung DPR ini berhasil pula menurunkan ketegangan insiden Indonesia-Malaysia yang sangat terkait dengan kedaulatan negara dan harga diri bangsa. Ketika DPR semakin “terpojok” oleh kecaman-kecaman masyarakat, beberapa hari kemudian tiba-tiba Presiden SBY berbicara panjang lebar tentang kemacetan di Jakarta dan melontarkan opsi untuk memindahkan ibu kota.
Begitulah isu-isu panas yang akhir-akhir ini melanda negeriku tercinta ini. Disengaja atau tidak, rangkaian isu-isu itu tertata rapi. Dan disela-sela isu-isu itu, sempat pula bergaung isu pembubaran ormas dan penggunaan hak interpelasi. Hm, seperti bola yang “dikocek-kocek” di tengah lapangan!
Jakarta, 4 September 2010.
Cerpen Anak: Si Agus Juara
Kompas, July 2010.
Cerpen Anak: Timbul Nadeak.
TELAH SEMINGGU Agus kesal, teman-teman sekelas mengubah namanya menjadi Agus Kurus. Nama itu sesuai dengan tubuhnya yang kurus.
TELAH SEMINGGU Agus kesal, teman-teman sekelas mengubah namanya menjadi Agus Kurus. Nama itu sesuai dengan tubuhnya yang kurus.
Di kelas, ada dua anak yang bernama Agus. Satu Agus Hadi, dan yang satu lagi Agus Pratikno. Agus Hadi berbadan gendut, tetapi teman-teman tak menamainya Agus Gendut. Mengapa dia yang kurus dinamai Agus Kurus?
Sebenarnya teman-teman Agus tak bermaksud menyakiti hatinya. Mereka menamai Agus Kurus hanya untuk membedakan saja. Ketika sedang bermain bersama, pernah seorang teman berkata ”Si Agus masuk grup kita.” Teman yang lain bertanya ”Agus yang mana?”
Pernah juga terjadi ”Mana si Agus?” Yang ditanya malah balik bertanya, ”Agus yang mana?” Akhirnya teman-teman menamainya si Agus Kurus.
Mama diam-diam memerhatikan perubahan yang terjadi pada wajah Agus. Wajahnya cemberut, bibirnya jarang tersenyum.
Perubahan juga terjadi ketika Agus makan. Biasanya, sepiring nasi beserta lauk sudah cukup. Namun, sekarang dua piring habis dilahap Agus. Padahal, tak ada yang istimewa pada masakan itu.
Mama menduga ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Akhirnya Mama bertanya ”Ada apa Agus? Mengapa sekarang tiba-tiba kuat makan? Makannya lahap, tetapi cemberut!”
AGUS MALAS menjawab. Perutnya sudah gembung kekenyangan.
”Anak Mama kok diam saja, ada masalah? Ayo ceritakan, nanti Mama bantu menyelesaikan masalahnya.”
Setelah termenung sejenak, akhirnya Agus berkata ”Teman-temanku menamai aku si Agus Kurus.”
Mama tersenyum mendengarnya. ”Jadi itu sebabnya Agus makan sampai dua piring? Ingin gendut, ya. Kalau sudah gendut, apa suka dinamai Agus Gendut?”
Lalu Mama menasihati, ”Makan secukupnya saja, kalau sudah kenyang, berhenti makannya. Biar kurus tetapi sehat. Yang penting sehat!”
”Tidak kurus juga penting, Ma,” jawab Agus.
”Kalau Agus tidak suka dinamai seperti itu, berusahalah untuk mengubahnya.”
”Caranya bagaimana, Ma?” tanya Agus.
”Menjadi yang terbaik di antara teman-temanmu!”
Agus terdiam sejenak. Dia seperti merenung. Akhirnya kepala Agus mengangguk. Dia mengerti dan berniat untuk menjadi yang terbaik di kelasnya.
SEKARANG SETIAP hari Sabtu pagi dan Minggu pagi, Agus melatih dirinya berlari cepat di sebuah lapangan sepak bola. Kebetulan lapangan itu sangat dekat dengan rumah. Keringat bercucuran setiap kali ia selesai latihan. Hatinya senang karena dia berlatih menjadi pelari tercepat di kelasnya. Selain itu, tubuhnya menjadi lebih sehat dan segar.
SETELAH MENUNGGU selama dua bulan, akhirnya tiba hari yang dinantikan Agus. Dia sangat bersemangat ketika Ibu Guru kelasnya mengadakan perlombaan lari cepat 100 meter.
Anak laki-laki dibagi menjadi beberapa grup. Satu grup terdiri dari 5 orang. Semuanya ada 5 grup. Tepat ketika peluit berbunyi, tubuh Agus melesat cepat. Teman- temannya tertinggal.
Agus berhasil dengan mudah menjadi juara di grupnya. Akan tetapi, perlombaan belum selesai.
Setelah semua grup berlomba, setiap juara dikumpulkan kembali menjadi satu grup. Lalu Bu Guru memberi aba-aba untuk bersiap-siap.
Di garis start, Agus dan teman-temannya membungkuk kembali, tetapi dengan wajah mereka menghadap ke depan. Telapak tangan menapak tanah. Kaki ditekuk berancang-ancang. Ketika peluit berbunyi, tubuh Agus kembali melesat cepat. Teman-temannya tertinggal di belakangnya.
Beberapa detik kemudian, dia mengangkat kedua tangannya setelah jadi pelari pertama yang mencapai garis finis. Agus menjadi juara!
Namun, esok harinya, dia bersedih kembali. Tidak semua teman-temannya menghargainya sebagai juara.
Dia tahu hal itu dari salah seorang sahabat.
”Kata mereka, si Agus Pratikno menjadi juara karena tubuhnya kurus. Tubuh kurus, kan ringan. Dibantu tiupan angin, tubuhnya bisa berlari lebih cepat.”
Agus sedih dan ingin marah mendengar cibiran seperti itu. Wajahnya kembali cemberut. Apalagi karena dia masih tetap dipanggil si Agus Kurus!
BEBERAPA HARI kemudian, sambil menangis dia menceritakan kesedihannya kepada Mama.
Mama kembali menasihatinya: ”Jangan sedih. Jangan jadi anak cengeng,” kata Mama sambil menghapus air matanya.
”Kata Mama, kan menjadi yang terbaik di antara teman-temanmu. Jadi jangan hanya yang terbaik dalam lomba lari 100 meter. Coba berusaha menjadi yang terbaik dalam pelajaranmu. Menjadi anak yang paling pandai di kelas!”
Agus menganggukkan kepalanya. Dia benar-benar telah mengerti apa yang dinasihatkan Mamanya.
Sejak saat itu dia mengurangi jam bermain sehingga dapat menambah jam belajar. Dia juga tak lagi memaksakan diri untuk makan sebanyak-banyaknya.
Perut yang kekenyangan membuat dia malas bergerak. Lebih baik kurus, tetapi sehat! katanya dalam hati.
TIGA BULAN sebelum penerimaan rapor kenaikan kelas, Agus giat belajar. Apabila ada pelajaran yang belum dipahami, tanpa malu-malu dia bertanya kepada Papa atau Mama. Dia sangat senang karena Papa dan Mama ternyata bisa juga menjadi gurunya di rumah.
Di kelas, Ibu Guru juga memerhatikan perubahan pada diri Agus. Diam-diam Ibu Guru mengagumi nilai-nilai pelajaran yang diraih Agus, terutama untuk pelajaran Matematika dan Membaca.
Agus selalu mendapatkan nilai 10 untuk pelajaran Matematika. Nilai sembilan untuk pelajaran Membaca. PR yang dikerjakan selalu mendapat angka 10. Dulu dia tidak pernah mendapat angka sembilan dan 10.
Agus terus belajar dengan giat. Juga tetap rajin berolahraga. Selain lari cepat, dia juga berhasil menjadi juara lompat jauh.
Agus tak peduli walau masih ada beberapa teman mencibir ”Si Agus Kurus bisa melompat jauh karena badannya ringan!”
Cibiran seperti itu tidak membuatnya kesal. Dia hanya ingin melaksanakan nasihat Mama. Dia bertekad untuk menjadi yang terbaik.
Pada hari pembagian rapor kenaikan kelas, Agus datang ke sekolah dengan Mama. Hatinya berdebar-debar ketika giliran Mama masuk ke dalam kelasnya. Dia merasa Mama sangat lama berbicara dengan Ibu Guru. Ketika Mama akhirnya muncul dari balik pintu, Agus segera berlari menghampiri. Mama langsung memeluknya dengan terharu. Walau berbisik, suara Mama jelas terdengar ”Agus menjadi juara pertama di kelas!”
AGUS MELOMPAT- lompat kegirangan sambil jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V. Huruf tanda kemenangan. Dia baru berhenti setelah menyadari Bu Guru berdiri di sebelah Mama.
”Selamat ya Agus. Tetapi, kamu harus tetap belajar dan berolahraga. Pertahankan prestasimu,” kata Ibu Guru sambil menyalaminya.
”Ya Bu,” jawab Agus sambil tersenyum bangga.
Teman-teman Agus yang melihat kejadian itu turut bergembira. Mereka turut mengacungkan jari tangan yang membentuk huruf V.
Lalu tiba-tiba ada salah seorang teman berteriak ”Hidup Agus Juara!” Tak lama kemudian, teman-teman yang lain berteriak ”Agus Juara! Agus Juara!”
Dalam pelukan Mama, Agus tersenyum bangga. Sejak saat itu dia dipanggil si Agus Juara.
July 2010.
Timbul Nadeak Penulis Cerita Anak, Tinggal di Jakarta
Humor Serumpun.
Foto ini kuperoleh dari Shishi Tandayu beberapa hari yl, kemudian aku terinspirasi untuk membuat teks "HUMOR" , sebagai berikut:
(Alkisah, si hewan besar selalu hidup bermalas-malasan, sedangkan si hewan kecil selalu cerdas menyikapi hidupnya. Perbedaan gaya hidup ini membuat mereka sesekali sinis satu sama lain).
Serumpun Besar: "Ad...uuuuh, gigiku sakit sekali."
Serumpun Kecil: "Coba kuperiksa mulutmu".
(Alkisah, si hewan besar selalu hidup bermalas-malasan, sedangkan si hewan kecil selalu cerdas menyikapi hidupnya. Perbedaan gaya hidup ini membuat mereka sesekali sinis satu sama lain).
Serumpun Besar: "Ad...uuuuh, gigiku sakit sekali."
Serumpun Kecil: "Coba kuperiksa mulutmu".
(Lalu Serumpun Kecil memasukkan kepalanya ke mulut Serumpun Besar).
Serumpun Kecil: "Ada daging terselip di gigimu, Saudaraku. Tapi yang membuat aku mau muntah, mulutmu bau busuk. Jadi jangan lupa menyikat gigimu setiap pagi dan malam sebelum tidur!"
Serumpun Kecil: "Ada daging terselip di gigimu, Saudaraku. Tapi yang membuat aku mau muntah, mulutmu bau busuk. Jadi jangan lupa menyikat gigimu setiap pagi dan malam sebelum tidur!"
Timbul Nadeak.
Kualitas Diplomasi.
Perundingan batas laut antara Indonesia dan Malaysia telah berlangsung sejak tahun 1969, dan dengan segala kendalanya masih tetap berlangsung hingga saat ini. Perundingan kembali akan dilanjutkan pada tanggal 6 September 2010 nanti. Lalu ada pernyataan resmi yang diterjemahkan sebagai berikut: “Malaysia setuju untuk mempercepat perundingan batas laut… ”.
Menurut saya, kalimat itu jelas salah kaprah. Tidak sulit bagi pembaca dan yang mendengar langsung kalimat itu “menangkap” makna bahwa pemegang kunci perundingan adalah Malaysia. Saya sungguh-sungguh heran. Seperti inikah gaya bahasa diplomat-diplomat Indonesia? Atau karena malang melintang di dunia internasional, mereka menjadi lupa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar?
Bila pernyataan itu hanya berpatokan pada jadwal yang direncanakan semula, yaitu bulan Oktober 2010, jelas kata “mempercepat” layak untuk dipergunakan karena memang ada percepatan 1 bulan dari jadwalnya. Apakah itu menjadi patokan? Bila kasusnya telah berlangsung selama 41 tahun, percepatan 1 bulan itu tak berarti apa-apa. Inilah gaya diplomasi yang membuat saya sering jengkel ketika mendengar dan membacanya.
Disengaja atau tidak, kalimat-kalimat amburadul seperti itu cenderung menyepelekan dan membodohi rakyat, dan membuka peluang KALAH di setiap perundingan. Akan lebih elegan dan jujur bila mengatakan: “Indonesia dan Malaysia kembali akan merundingkan batas laut…”
Jakarta, 30 Agustus 2010.
Garis Batas Dengan Malaysia.
Kemarin, di sebuah teks berita kubaca: Menlu, Marty Natelaga: Malaysia belum siap merundingkan konsep perbatasan di pulau Bintan."Bahasa diplomat apa lagi ini," tanya hatiku. Apakah kalimat itu menunjukkan bahwa pak Menlu (Indonesia) bersedia menunggu sampai Malaysia siap berunding. Lalu apa negeri jiran itu sudah mengatakan kapan dia siap? Kalau belum, apakah Indonesia akan diam menunggu dan hanya tersenyum setiap kali diprovokasi?
Pak Menteri, untunglah anda bukan saya. Sebab kalau saya menjadi anda, saya akan merangkul Pangab dan menetapkan garis batas sendiri sesuai dengan peraturan internasional untuk negara kepulauan. Lalu saya katakan ke Malaysia: "Ini garis batas negara kami, Indonesia. Ini kedaulatan kami. Jika kapal anda melewatinya, akan kami tenggelamkan!" Gampang 'kan! Tegas dan keras 'kan! Kupikir, memang itu pernyataan yang harus dikeluarkan oleh sebuah negara yang berdaulat. Dan untuk menunjukkan bahwa itu tidak main-main dan didukung rakyat, bila ada kapal negeri jiran itu memasuki perairan Indonesia, tenggelamkan!
Agustus 30.08.2010.
FB: Bung Deak.
Din Syamsuddin: Tanggung Jawab Presiden.
Sewaktu Presiden SBY mengatakan bahwa para menterinya lamban dalam merespon beberapa isu yg menjadi sorotan publik dan media, saya bertanya dalam hati: "Apa sudah jelas isu seperti apa yang harus direspon kelas Menteri dan isu apa pula yg harus direspon kelas Presiden?" Bukankah klasifikasi isu itu menjadi penting agar tak terjadi tumpang-tindih komentar di level petinggi negara?
Saya masih mempertimbangkan untuk menulis topik itu di dinding saya ketika (sore ini) tiba-tiba saja saya merasa terwakili oleh Din Syamsuddin (kompas.com-26/08/2010) yg mengatakan: "Selama ini Presiden paling renponsif terhadap isu kecil. Vidio mesum ditanggapi. Tapi untuk isu kedaulatan ini kenapa tidak menggelar konferensi pers dan mengambil langkah. Ini bukan kepemimpinan yang baik." Dalam merespon isu perselisihan dengan Malaysia itu, Din Syamsuddin menambahkan, "Presiden yang seharusnya mengambil alih tanggung jawab, bukan justru menyalahkan menteri-menteri yang jadi pembantunya".
26.08.2010.
Saya masih mempertimbangkan untuk menulis topik itu di dinding saya ketika (sore ini) tiba-tiba saja saya merasa terwakili oleh Din Syamsuddin (kompas.com-26/08/2010) yg mengatakan: "Selama ini Presiden paling renponsif terhadap isu kecil. Vidio mesum ditanggapi. Tapi untuk isu kedaulatan ini kenapa tidak menggelar konferensi pers dan mengambil langkah. Ini bukan kepemimpinan yang baik." Dalam merespon isu perselisihan dengan Malaysia itu, Din Syamsuddin menambahkan, "Presiden yang seharusnya mengambil alih tanggung jawab, bukan justru menyalahkan menteri-menteri yang jadi pembantunya".
26.08.2010.
Cerpen: Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap
Kompas: 31 Januari 2010.
Cerpen : Timbul Nadeak.
Cerpen : Timbul Nadeak.
dengan 24 komentar
i
12 suara
Di Kedai Tuak Martohap selalu ada beberapa orang lelaki—biasanya 4 sampai 5 orang—yang bercakap-cakap sambil minum tuak. Selalu ada cerita yang mereka percakapkan. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak. Karena mereka bercakap-cakap dengan suara tinggi, maka semua tamu di kedai tuak itu tahu apa yang sedang mereka tertawakan. Tapi ada pula cerita yang mereka percakapkan dengan suara rendah. Kalau bercakap-cakap seperti itu, mereka pasti menggeser gelas dan botol tuak masing-masing ke tengah meja agar dapat menyimak sambil melipat kedua tangan di atas meja.
Dua jam sebelum tengah malam, biasanya Pita mulai sibuk mengelap
sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Membersihkan
dan merapikan kursi-kursi merupakan isyarat bahwa dia sedang
bersiap-siap untuk menutup kedai tuaknya. Satu atau dua orang tamu yang
masih berada di kedainya harus bersiap-siap pula untuk pulang. Tapi
pada malam itu, ada seorang lelaki beruban yang tidak menunjukkan
tanda-tanda akan beranjak dari kursinya.
Pita tersenyum ramah ketika mengamati
sosok lelaki itu. Tak lama kemudian, senyumnya hilang seketika. Dia
terkesima. Sekujur tubuhnya sempat bergetar ketika lelaki beruban itu
membalas tatapannya.
Pita merasa pernah mengenali wajah lelaki itu. Bahkan pernah
mengenali tatapannya. Dia ingin segera berlari ke kamarnya untuk
membuka album masa mudanya. Dia ingin memastikan bahwa wajah lelaki
beruban itu adalah wajah tua milik seorang pemuda yang pernah
dikenalnya. Wajah yang sesekali masih mampu menggelorakan rindunya.
Pita tetap melanjutkan pekerjaannya dengan kepala tertunduk. Ada
rasa cemas yang tiba-tiba menyergap dirinya sehingga dia segan melirik
lelaki itu, tapi nalurinya memberitahukan bahwa mata lelaki itu sedang
mengamati wajahnya, rambutnya, dan sekujur tubuhnya.
”Aku pernah mengenal seseorang yang mirip kau.”
Pita menoleh. Tanpa disadarinya, ternyata lelaki itu telah berdiri di dekatnya. ”Sekarang aku hanya bisa mengenangnya.”
Pita membisu, tetapi dadanya bergemuruh.
”Maaf, aku telah mengganggu pekerjaanmu. Agar kau tak terganggu, aku
akan menunggu hingga kau menyelesaikan pekerjaanmu. Setelah itu,
berilah aku kesempatan untuk bicara.”
Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita menguatkan hatinya untuk duduk di hadapan lelaki itu. ”Apa yang ingin kau bicarakan?”
”Tentang seorang perempuan di masa mudaku, dulu.”
”Apakah kau merasa aku pernah mengenalmu?”
Lelaki itu mengangguk, lalu bertanya, ”Apakah suamimu bernama Martohap?”
Pita membisu.
”Atau anakmu yang memiliki nama itu?”
Pita menggeleng.
Lelaki itu menarik napas panjang. Ada kelegaan terbias di wajahnya.
Lalu dia berkata dengan santun, ”Aku tidak suka minum tuak. Aku mampir
karena membaca papan nama di depan kedai tuakmu ini. Nama siapa yang
kau gunakan?”
Pita menunduk. Walau telah berhasil memendam cintanya, dia tetap merasa malu untuk menjawab pertanyaan itu.
”Apakah itu nama seorang lelaki yang pernah kau cintai?”
”Apakah kau pernah mencintai seorang perempuan?”
Lelaki itu terdiam sejenak. Dahinya berkerut. Lalu dia berkata,
”Maaf karena aku sangat lancang bertanya. Mengapa kau namai Martohap?
Bukankah nama Songgop lebih berarti untukmu?”
Sekujur tubuh Pita mulai menggigil. ”Apakah kau pulang untuk perempuan yang kau cintai itu?”
”Aku tidak pulang. Aku datang!” jawab lelaki itu. Matanya menatap tajam.
”Aku yakin bahwa kau mengenal perempuan yang kumaksud. Kira-kira dua
puluh lima tahun yang lalu, perempuan itu diperistri oleh anak Kepala
Kampung ini,” sambungnya.
Pita membisu kembali. Napasnya tersendat.
”Namaku Martohap.”
Pita bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu.
Di dalam kamarnya yang terletak di belakang kedai tuaknya, dia tak
mampu menahan air matanya walaupun tak tahu pasti apa sesungguhnya yang
dia tangisi. Apakah dia menangis karena terharu akan pertemuan itu atau
menangis karena menyesal telah memberikan hatinya kepada lelaki itu.
Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi hati yang tersisa untuk dia berikan
kepada lelaki lain.
Tahun demi tahun telah dilaluinya dalam kesendirian. Dinikmatinya
kesendirian itu sambil menunggu lelaki itu pulang untuk mengembalikan
hatinya. Nama lelaki itu digunakannya menjadi nama kedai tuaknya.
Setiap orang yang melewati kedai tuaknya dapat membaca nama itu dengan
jelas. Dia memang ingin menyapa dan mengundang lelaki yang memiliki
nama yang sama untuk singgah di kedai tuaknya.
Di dalam hatinya, Pita berkali-kali menyebut nama Tuhannya. ”Tuhan,
akhirnya kau kirimkan lelaki itu untuk menemuiku. Terima kasih Tuhan,
mendekati usia senja aku masih sempat melihat wajahnya.”
***
Dua puluh lima tahun yang lalu, Pita sering termenung
menimbang-nimbang perasaannya. Rencana pernikahan itu membuatnya resah
dan marah. Berulang-ulang kali pula dia bertanya dalam hati, apakah aku
benar-benar tega menistakan kehormatan yang telah berada dalam
genggaman orangtuaku?
Seminggu sebelum pesta pernikahannya dilaksanakan, terjadi
demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah pabrik bubur kertas
ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi pabrik bubur
kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan tanaman
industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan.
Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di
pinggir jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut
ditebang untuk memalang jalan. Bahkan batu gunung dilinggis
beramai-ramai hingga menggelinding ke tengah jalan. Ribuan masyarakat
berdiri di pinggir jalan sambil membawa spanduk-spanduk tuntutan
mereka, ”Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan kami”. ”Stop
menebar racun di Tanah Toba!”.
Truk-truk pengangkut kayu terpaksa berhenti. Terjadi antrean panjang
lebih dari 10 jam. Penumpang-penumpang bus lintas Sumatera terpaksa
turun untuk membantu aparat kepolisian dan TNI. Mereka bekerja sama
menyingkirkan batang-batang pohon yang menghalangi jalan.
Dua hari setelah demonstrasi itu, orang-orang asing berseragam dan
berbaju preman terlihat hilir-mudik ke luar-masuk kampung. Masyarakat
saling berbisik. ”Kepala Kampung dituduh sebagai penggerak demo.”
”Beberapa anggota masyarakat sedang dicari.”
”Yang dicap sebagai tokoh harus segera bersembunyi!” Dan calon
mertuanya sempat menghilang beberapa hari. Ada yang mengatakan sedang
ditahan, tapi berita-berita di televisi mengatakan sedang diinterogasi.
Beberapa hari kemudian, Kepala Kampung kembali terlihat sibuk
mengadakan rapat dengan masyarakatnya.
Hari pernikahan itu tentu urung dilaksanakan, tapi tepat pada hari
itu tersiar kabar pengangkatan kepala kampung yang baru. Masyarakat
kembali berbisik-bisik.
”Kepala kampung yang baru itu langsung ditunjuk oleh pemerintah.”
Pada saat yang sama, calon mertua Pita menyatakan tak akan mundur dari
jabatannya. Sejak saat itu demonstrasi yang dilaksanakan terpecah dua.
Ada kubu yang mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan sejak saat itu
pula, Songgop, pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia dicap
sebagai salah seorang aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan
demonstrasi besar-besaran itu.
Martohap juga menghilang. Masyarakat di kampungnya menganggap dia
melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si perempuan kampung
yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap yang menjadi
pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu.
Bibir Martohap memang telah membuat kuncup bunga di hati Pita mekar
bersamaan waktunya dengan sukaria pemuda dan pemudi sekampungnya. Pada
malam itu, mereka sedang menghias sebuah pohon cemara menjadi pohon
Natal. Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu kecil
di antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk
membantu Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan
serpihan-serpihan kapas. Ketika pekerjaan mereka selesai, semua lampu
gereja dimatikan. Kegelapan menyelimuti mereka. Di balik rimbunnya
pohon Natal, Martohap segera merengkuh dan mendekap tubuh Pita
erat-erat. Sebelum seseorang mencolokkan kabel ke stop kontak di dekat
altar gereja, pemuda itu telah selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu
pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling
tatap penuh makna. Dan Songgop menatap curiga!
Dua tahun setelah demonstrasi besar-besaran itu, Songgop kembali ke
kampungnya. Dia pulang bersama seorang bayi berumur beberapa bulan.
Bayi itu berada dalam gendongan seorang perempuan yang telah
dinikahinya di Tanah Karo.
***
Sebelum tengah hari Pita membuka kedai tuaknya. Tak lama kemudian
dua orang lelaki masuk dan segera membuka papan catur yang selalu
tersedia di atas sebuah meja. Tapi sebelum menyusun buah caturya, salah
seorang menyapa.
”Tadi malam kulihat kau bercakap-cakap dengan seseorang. Siapa dia?”
Pita sempat tergagap sebelum menjawab, ”Dia pendatang yang sedang mencari seseorang.”
”Siapa yang dicarinya?”
”Katanya adiknya,” jawab Pita sekenanya.
”Ah, kok bisa dia kehilangan adik? Sudah berapa lama dia merantau?”
”Aku tak tahu!”
Lelaki itu terdiam sejenak. ”Aneh juga. Kau lama bercakap-cakap
dengan dia, tetapi tak tahu berapa lama dia sudah merantau.” Dahinya
berkerut. ”Sudah kau suruh bertanya ke Kepala Kampung?” sambungnya.
”Sudah. Kupikir, sekarang dia sedang menemui Kepala Kampung.”
Lelaki itu berpaling dan mulai melangkahkan buah caturnya.
Di dapur kedai tuaknya, Pita termenung. Dia menyesal telah
berbohong, tapi kalau berkata jujur, dia mungkin akan lebih menyesal.
Mereka akan bertanya, dan bertanya… hingga bisa merangkai sebuah
cerita. Lalu dia akan selalu curiga bila gelas-gelas dan botol-botol
tuak terkumpul di tengah meja. Akan semakin curiga bila mereka
bercakap-cakap dengan suara rendah. Akhirnya terusik ketika mereka
tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Dia akan ditertawai di kedai tuaknya
sendiri. Kalau merasa sungkan, mungkin mereka akan pergi ke kedai tuak
orang lain dan terbahak-bahak di sana!
Pita pernah menegur. Dia tahu, saat itu mereka sedang mempercakapkan
seorang perempuan yang sudah berumur, tetapi belum pernah dinikahi.
Walaupun bukan dirinya yang sedang mereka percakapkan, tetapi hatinya
cemas. Sebelum mereka tertawa, dengan lantang dia menegur, ”Sudahlah!
Jangan mempercakapkan cerita seperti itu. Apa kalian tak ingin menjaga
perasaanku?!”
Tegurannya membuat cerita yang sedang mereka percakapkan dianggap
telah selesai. Biasanya, cerita baru dianggap selesai beberapa menit
sebelum kedai tuak itu tutup. Tapi kadang-kadang ada juga cerita yang
bersambung ke malam berikutnya. Bila terjadi seperti itu, biasanya
seseorang dari malam sebelumnya dituntut untuk mengulang apa yang telah
dipercakapkan. Jadi selalu ada cerita yang dipercakapkan karena
orang-orang yang bercakap-cakap pada malam berikutnya, belum tentu
semua sama dengan orang-orang yang bercakap-cakap pada malam sebelumnya.
***
Setelah semua meja dibersihkan dan kursi-kursi ditata kembali, Pita
kembali menguatkan hatinya untuk duduk di hadapan lelaki beruban itu.
”Mengapa kau datang lagi?”
”Untuk melihat siapa yang membantumu menutup kedai tuak ini.”
”Aku sendiri yang melakukannya.”
”Mengapa suami atau anakmu tak ikut membantu?”
”Aku belum pernah menikah.”
Martohap terkejut. Matanya sempat berbinar. Dia baru tahu kalau
pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal rencana pernikahan itu
yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan dan selama dua
puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.
Walau membisu, Martohap tetap mengamati wajah yang dulu sangat
dikaguminya. Dulu? Tidak! Tidak! Bantah hatinya seketika. Sekarang pun
dia masih tetap mengaguminya. Dia memang sangat mengagumi perempuan
yang tulus dan tegar. Apalagi bila perempuan itu telah membuktikan
dirinya tulus menikmati kesendiriannya. Tegar mengikuti perjalanan
hidupnya.
”Aku pun belum pernah menikah.”
Pita terbelalak. Untuk apa dia mengatakan itu? Tentu dia tidak
sedang merayu, katanya dalam hati. Lalu dia tersenyum kecil. Dia tahu,
Martohap memang tidak bisa merayu. Lelaki itu lebih suka berpikir dan
bertindak.
”Apakah seseorang yang telah menjalani kesendirian selama puluhan
tahun berani menjalani kebersamaan di bagian akhir masa hidupnya? Bila
mengenang cerita cinta sudah terasa indah, mengapa perlu mempertaruhkan
kebersamaan? Bila kebersamaan itu akhirnya ternyata menyakitkan,
bukankah nikmatnya kesendirian akan menjadi sia-sia? Padahal
kesendirian itu telah dinikmati hingga usia menjelang senja. Tak lama
lagi kematian akan datang untuk memisahkan kebersamaan. Mungkin naif
bila kusimpulkan, semakin tua menjalani kesendirian, semakin takut
menghadapi kebersamaan.”
”Untuk apa kau katakan itu?”
”Karena aku ingin pulang.”
”Pulanglah!” kata Pita ketus. Hatinya meradang. Dengan sigap dia
bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu sebelum air matanya
sempat menetes.
Martohap terkesima. Matanya nanar menatap atap kedai tuak yang tak
berlangit-langit itu. Lalu dia merogoh saku bajunya dan meletakkan
sebuah amplop di atas meja. Langkahnya gontai ketika meninggalkan kedai
tuak yang telah sepi itu.
***
Seperti biasanya, dua jam sebelum tengah malam, Pita selalu sibuk
mengelap sisa-sisa makanan dan tuak yang tertumpah di atas meja. Dia
masih tetap sendirian membersihkan dan merapikan kursi-kursi kedai
tuaknya. Setelah menutup kedai tuaknya, sesekali dia membuka amplop
yang ditinggalkan Martohap. Lalu dibacanya surat pendek itu untuk
kesekian kalinya, ”Pita, hingga sekarang aku tetap mencintaimu! Aku
berbahagia karena tak ada orang yang berhak melarangku untuk berhenti
mengenangmu!”
Pita mengangkat kepalanya. Ditatapnya kegelapan malam. Lalu bibirnya
tersenyum. Ada segumpal kebahagiaan ketika dia membayangkan seorang
lelaki beruban yang tak pernah berani melamarnya.
Menteng Metro, Des 2009.
Harga Diri Adalah Harga Mati
http://politik.kompasiana.com/2010/08/29/harga-diri-adalah-harga-mati/
Harga Diri adalah kesadaran akan berapa besar nilai yang diberikan kepada diri kita. Dari definisi itu jelas terlihat bahwa harga diri adalah sebuah variabel yang tidak selalu sama dan tidak selalu berlaku tetap bagi setiap orang. Oleh karena itu, harga diri seseorang berkelas Presiden tidak sama dengan harga diri seseorang berkelas Gembel.
Dalam kasus tertentu, harga diri “menjadi” bernilai sama bila ada kasus tertentu yang membuat harga diri seseorang menyentuh titik nadir, atau titik terendah yang secara umum membuat semua orang merasa terhina. Dalam konteks insiden penangkapan dan perlakuan Polisi Diraja Malaysia terhadap 3 petugas KKP Indonesia, harga diri itu telah menyentuh titik nadir hingga rakyat, tokoh, maupun mantan pejabat di RI ini merasakan bahwa insiden itu telah menyentuh harga dirinya. Meskipun ada segelintir orang yang tak merasakan hal itu, tetapi tak logis bila membantah bahwa pada titik ini, harga diri itu adalah harga mati. Harga yang tidak dapat ditawar lagi. Dengan kata lain, insiden itu membuat rakyat negeri ini berada pada titik harga diri berkelas gembel.
Bila pemimpin-pemimpin negeri ini tak mampu berbuat sesuatu untuk mengangkat harga diri itu dari titik nadir, maka “harga mati” akan berontak dalam kemarahan (maaf, ini sangat rasional sehingga saya berani mengatakannya secara gamblang) dan berpikir untuk mengganti pemimpin-pemimpinnya yang tak mampu “membeli” harga mati itu. Sejarah membuktikan bahwa hal seperti itu bisa saja terjadi setiap saat dan tak dapat diprediksi dengan tepat kapan dan bagaimana hal itu bisa terjadi. Kalimat ini saya tuliskan secara gamblang karena saya mencintai negara RI ini.
Tulisan ini saya buat untuk mengingatkan pemimpin-pemimpin negeri ini untuk segera bersikap tegas dan keras untuk menegakkan kedaulatan negara yang juga adalah harga mati. Dan sikap itu harus dapat diterjemahkan rakyatnya sebagai sikap pemimpinnya untuk “mengobati” harga diri bangsa sekaligus mengangkatnya dari titik nadir.
Mempertimbangkan bahwa insiden perbatasan laut antara Indonesia dan malaysia sudah sering terjadi, maka kata-kata “tak sejengkalpun akan dibiarkan merebut kedaulatan negara RI” hanya dapat menjadi vitamin untuk mengobarkan sikap patriotisme ketika perang sudah dimulai. Itu bukan obat. Gaya bicara Menlu Marty Natalegawa yang banyak bermain kata-kata, sesungguhnya hanya dapat menyembunyikan makna yang terjadi untuk sementara waktu. Dan bila pada akhirnya rakyat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, justru gaya seperti itu dapat menyulut asap menjadi api. Jadi itu pun bukan obat.
Bung Deak,
Jakarta, 30 Agustus 2010.
Gedung Kerakyatan di Negeri Lampir.
Akan kupanggil arwah istriku yang suka tertawa panjang dengan nada tinggi dan dalam, “Hiik…hiik…hiik…, lalu akan kami himpun tuyul-tuyul dan semua babi ngepet, sehingga kami mampu membangun Universitas Pultikus, yang hanya mempunyai 1 Pikultas, yaitu: Tirani, dan hanya 1 Sopirjurusan: Otoriter.
Lalu mahasiwa-mahasiwa di universitasku itu akan kuajak mengunjungi semua pohon beringin besar dan rindang di seluruh pelosok negeriku. Di bawah setiap pohon itulah istriku tercinta, si Nenek Lampir, mengajarkan ilmunya.
Hanya dalam waktu seminggu, semua pohon di seantero negeri telah kami kunjungi. Selama seminggu berikutnya, semua mahasiwaku wajib melakukan “tapa-siluman tirani dan otoriter” di Universitas Pultikusku.
Pada minggu ke-3 mereka diwisuda. Tentu saja mereka kuanugerahi gelar DD (Doktor Demit) di depan nama mereka. Pada minggu ke-4, dua orang di antaranya telah menjadi RL-1 (Republik Lampir-1) dan RL-2 (Republik Lampir-2) yang sangat, suaaangat otoriter! Lalu dengan bantuan semua dedemit pohon beringin besar dan rimbun, kedua Doktor Demit tadi akan melaksanakan titahku: “Buat Gedung Kerakyatan negeri ini menjadi pusat belanja terbesar di Asia!!”
Hanya dalam waktu seminggu, semua pohon di seantero negeri telah kami kunjungi. Selama seminggu berikutnya, semua mahasiwaku wajib melakukan “tapa-siluman tirani dan otoriter” di Universitas Pultikusku.
Pada minggu ke-3 mereka diwisuda. Tentu saja mereka kuanugerahi gelar DD (Doktor Demit) di depan nama mereka. Pada minggu ke-4, dua orang di antaranya telah menjadi RL-1 (Republik Lampir-1) dan RL-2 (Republik Lampir-2) yang sangat, suaaangat otoriter! Lalu dengan bantuan semua dedemit pohon beringin besar dan rimbun, kedua Doktor Demit tadi akan melaksanakan titahku: “Buat Gedung Kerakyatan negeri ini menjadi pusat belanja terbesar di Asia!!”
Satire: Mati Kutuk.
Pernahkah anda membuka kata ‘mati’ di Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka? Di kamus itu setidaknya ada 39 buah jenis kematian. Dan tahukah anda ada ‘mati bebang’, yaitu mati karena tidak dapat keluar (bayi yang hendak lahir). Ada ‘mati katak’, yaitu mati seperti katak, tidak ada yang mempedulikan. Ada pula ‘mati suri’, yaitu tampaknya mati, tetapi sebenarnya tidak mati.
Saat ini, banyak sekali manusia yang dilanda ‘mati rasa’, yaitu tidak mempunyai perasaan lagi. Kalau mati rasa itu hanya berhubungan dengan nurani anda, berbahagialah karena anda masih bisa merasakan enak, lezat, pahit, manis, asam, sakit, dlsb. Ada pula ’mati konyol’, yaitu mati tidak terhormat, mati sia-sia saja. Contohnya, jika ada ormas yang sedang melakukan aksi brutal dalam jumlah besar, di mana anda melawan seorang diri (dalam hal ini polisi sudah melarikan diri karena kalah jumlah) dengan mengandalkan sebuah pentungan, kemudian anda dihakimi hingga meregang nyawa, maka anda berhak untuk dinanamakan ‘mati konyol’.
Inilah istilah mati yang saya usulkan untuk masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia melalui tulisan ini? Ya, benar, yang saya usulkan adalah ‘mati kutuk’, yaitu mati menanggung azab dan sengsara di akhirat nanti. (Semoga di dunia sempat juga merasakannya). Mengapa demikian? Karena ketika masih hidup, anda memelihara ‘mati rasa’ dan selama hidup di dunia ini anda terlalu banyak merasakan hidup nikmat dari kesengsaraan orang lain sehingga segala jenis mahluk di dunia ini selalu menyumpahi dan mengutuki anda sebagai laknat! Karena alam tidak diam, ia mendengar semua sumpah serapah dan kutukan itu. Maka ketika kematian itu datang menjemput anda, anak-anak dan istri/suami yang anda tinggalkan harus turut menderita sekaligus sengsara karena turut mempertanggung-jawabkan ‘mati rasa’ yang anda miliki. Mati rasa itu membuat pintu akhirat terbuka lebar bagi anda dan iblis tertawa terbahak-bahak menyambut kedatangan anda. Itulah hak yang anda miliki. Mati Kutuk.
Saat ini, banyak sekali manusia yang dilanda ‘mati rasa’, yaitu tidak mempunyai perasaan lagi. Kalau mati rasa itu hanya berhubungan dengan nurani anda, berbahagialah karena anda masih bisa merasakan enak, lezat, pahit, manis, asam, sakit, dlsb. Ada pula ’mati konyol’, yaitu mati tidak terhormat, mati sia-sia saja. Contohnya, jika ada ormas yang sedang melakukan aksi brutal dalam jumlah besar, di mana anda melawan seorang diri (dalam hal ini polisi sudah melarikan diri karena kalah jumlah) dengan mengandalkan sebuah pentungan, kemudian anda dihakimi hingga meregang nyawa, maka anda berhak untuk dinanamakan ‘mati konyol’.
Inilah istilah mati yang saya usulkan untuk masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia melalui tulisan ini? Ya, benar, yang saya usulkan adalah ‘mati kutuk’, yaitu mati menanggung azab dan sengsara di akhirat nanti. (Semoga di dunia sempat juga merasakannya). Mengapa demikian? Karena ketika masih hidup, anda memelihara ‘mati rasa’ dan selama hidup di dunia ini anda terlalu banyak merasakan hidup nikmat dari kesengsaraan orang lain sehingga segala jenis mahluk di dunia ini selalu menyumpahi dan mengutuki anda sebagai laknat! Karena alam tidak diam, ia mendengar semua sumpah serapah dan kutukan itu. Maka ketika kematian itu datang menjemput anda, anak-anak dan istri/suami yang anda tinggalkan harus turut menderita sekaligus sengsara karena turut mempertanggung-jawabkan ‘mati rasa’ yang anda miliki. Mati rasa itu membuat pintu akhirat terbuka lebar bagi anda dan iblis tertawa terbahak-bahak menyambut kedatangan anda. Itulah hak yang anda miliki. Mati Kutuk.
Bagian dari catatan FB saya: Bung Deak.
Langganan:
Postingan (Atom)